Memaknai Kemerdekaan bagi Perempuan



“Merdeka ialah ketika kita mengambil peran dan memberikan manfaat kepada sesama” Rosita Wulandari, Ketua KOPRI Cabang Semarang

Semarang – Ahad (27/8), Korp PMII Putri Komisariat Al Ghozali Semarang mengadakan diskusi perdana di kontrakan putri. Diskusi yang diadakan bersama Sahabati Rosita, Ketua Umum KOPRI Cabang Semarang membahas mengenai makna kemerdekaan bagi perempuan. Tema ini dipilih sesuai dengan moment di bulan kemerdekaan. Diskusi perdana pada sore kali ini dihadiri kurang lebih 14 orang.

Mengapa harus peremuan yang dimaknai kemerdekaanya? Apakah tidak sama antara perempuan dan laki-laki?

Jawabannya tentu saja sama. Setiap perempuan dan laki-laki memiliki kemerdekaannya masing-masing, sesuai dengan etika, pengetahuan, dan budaya yang berlaku di masyarakat. Misalnya, di daerah Minang, seorang perempuan yang melamar laki-laki, sedangkan di Jawa hal itu tentu saja dianggap menyalahi kodrat. Selayaknya adalah perempuan yang dilamar laki-laki. Nah, dari sini tentu kita tidak bisa lantas menghakimi karena setiap hal pasti memiliki alasan-alasan tertentu.

Menurut KKBI, arti merdeka ialah
merdeka /merdéka/ a 1 bebas (dr perhambaan, penjajahan, dsb); berdiri sendiri;
2 tidak terkena atau lepas dr tuntutan;
3 tidak terikat atau tergantung pd pihak tertentu; leluasa;

Jika melihat pengertian tersebut, secara umum perempuan Indonesia belum merdeka, baik secara fisik maupun psikis. Menurut data Catatan Tahunan Komnas Perempuan tahun 2016, menunjukan terdapat 6500 kasus kekerasan seksual yang terjadi sepanjang tahun 2015, baik di ranah personal/ rumah tangga maupun di ranah komunitas. Beberapa tahun terakhir bahkan tak sedikit kasus-kasus kekerasan seksual yang disertai ancaman pembunuhan hingga kematian korban, dan pelakunya diidentifikasi lebih dari satu orang (dilakukan secara massal/ gang rape).

Sepanjang tahun 2010-2014, Komnas Perempuan bersama dengan mitra jaringan K16HAKtP yang tersebar di berbagai daerah telah mengusung tema Kekerasan Seksual: Kenali dan Tangani, dan terbukti telah berhasil membuka pengetahuan baru di masyarakat akan kasus-kasus kekerasan seksual yang selama ini sunyi disuarakan dibalik dinding-dinding rumah, kantor, tempat umum, institusi pendidikan, dan ruang-ruang lain, baik karena ketidakpahaman publik tentang kekerasan seksual dan minimnya akses korban terhadap layanan, termasuk dalam hal ini kuatnya stigma negatif terhadap korban kekerasan seksual. Jika membahas kasus ini, tentu tidak akan selesai.

Rupanya memaknai kemerdekaan tidak hanya mengenai perayaan dengan berbagai perlombaan. Bagi kaum hawa, merdeka dapat dimaknai sebagai kebebasan yang bertanggungjawab. Artinya setiap perempuan khususnya bebas dan tidak perlu mempersoalkan mengenai pilihan hidup yang diambilnya. Apakah nantinya ingin menjadi seorang ibu rumah tangga atau wanita karier? Ingin memberi ASI eksklusif atau tidak? Semua adalah tentang pilihan dengan konsekuensi masing-masing.

Yang terpenting adalah bagaimana ia mempertanggungjawabkan setiap pilihan atau keputusan yang ia ambil. Jika masih saja mempersoalkan mengenai hal-hal di atas, dapat dikatakan wanita tersebut belum memerdekakan dirinya sendiri. Di jaman yang dapat dikatakan serba "online" ini, perempuan khususnya tidak terlepas dari media sosial. Perempuan "merdeka" adalah ia yang dapat menyebarkan kebaikan.

Lalu, bagaimana caranya? Sesuai yang disampaikan oleh Sahabati Rosita, ia memiliki opini dengan langkah-langkah sebagai berikut. Pertama adalah dengan tidak mudah menerima dan menyebarkan berita hoax. Kedua, tidak mudah terprovokasi dengan suatu issue yang belum jelas kebenarannya. Apabila kita enggan atau takut membagikan suatu kebaikan, setidaknya kita tidak menambah benih-benih kebencian.

“Intinya merdeka bagi kita kaum perempuan adalah untuk terus menerus mengambil peran dan memberi manfaat kepada sesama,” tutup Sahabati Rosita dalam diskusi kala sore yang teduh. (INR)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama