Alkisah, setelah memperebutkan jabatan sebagai Kades di Desa Cipratbrut Kabupaten Pati untuk waktu yang lama, akhirnya Pak Rete berhasil memenangkan kompetisi. Ia senang sekali, begitupun istrinya yang jauh di Eropa—istrinya sedang menempuh S2. Pak Rete bertekad, kemenangan ini akan ia balas dengan kejujuran, inovasi, dan kerja.
Tiga bulan menjabat, Pak Rete mulai frustasi. Banyak yang mengeluh kepadanya. Ia harus melakukan ini, itu, dan lain-lain. Ah, jika saja ada Munaroh, istrinya di rumah, tentu penat akan segera pergi saat melihat senyumannya.
Rasa rindu Pak Rete kian menjadi-jadi. Di tengah kesibukannya, ia selalu menciumi foto Munaroh, memeluknya begitu dalam, dan berbicara dengan benda itu. Sungguh, Pak Rete kurang belaian dari seorang wanita.
Setiap hari Jumat, Pak Rete selalu pulang lebih awal karena harus membersihkan
diri untuk salat Jumat. Hari ini pun begitu. Ia yang tak membawa motor pun
berjalan kaki karena kantor desa dan rumahnya memang tidaklah jauh.
Saat berjalan di depan Kos Bunga,
tiba-tiba Pak Rete mengendus bau ketidakberesan. Ia langsung pasang mata,
berusaha mencari akar masalah yang muncul dalam pikirannya
Bam!
Itu! Di bagian pojok pelataran yang hampir tertutup rimbunnya gerombolan bunga sepatu, Pak Rete melihat seorang laki-laki dan seorang perempuan saling berdiri berhadap-hadapan. Tangan si lelaki merangkul leher perempuan itu.
Melihat adegan ini, Pak Rete seketika panas. Ia langsung berteriak, "Ada yang mesum! Ada yang mesum!" Orang-orang pun sekonyong-konyong datang. Mereka menghampiri pasangan itu dengan wajah yang intimidatif.
"Woy! Ngapain kamu mesum di sini?!!!" bentak seorang warga.
Pasangan itu tak sanggup berkata-kata. Tubuh mereka menggigil. Wajahnya pun tampak begitu pucat.
"Dasar manusia tak tahu adat! Kita apakan ini, Pak Rete?" tanya seorang pemuda dengan nada marah.
"Hmm... Terlalu enak kalau cuma kita bawa ke kantor polisi. Mari kita telanjangi mereka lalu arak keliling kampung biar kapok!" jawab Pak Rete begitu bijaksana. Warga menyetujui tawaran itu dengan penuh antusias.
Sejurus kemudian pasangan itu sudah dalam keadaan telanjang bulat. Tak ada selambar kain pun yang menempel. Yang bisa mereka bedua lakukan hanyalah menggunakan dua tangan untuk menutupi dada dan alat kemaluan.
"Mari kita arak!" teriak seseorang di kerumunan.
"Ayo!"
Maka begitulah, sepasang kekasih itu diarak keliling kampung. Banyak kamera yang menangkap ekspresi mereka berdua yang menangis malu, sedih, sekaligus kelihatan marah. Namun apa yang bisa mereka lakukan saat ini? Melawan? Tidak mungkin. Jika melawan, maka mungkin nyawa mereka akan langsung lenyap.
Dalam hiruk-pikuk arak-arakan itu,
seorang polisi, Sumardi, melihatnya. Ia merasa ada yang aneh, dan jika benar
maka ia harus menghentikannya.
"Apa ini?" tanyanya kepada orang-orang.
"Ini, pasangan mesum!" jawab seseorang.
"Benarkah?" tanya Sumardi kepada pasangan yang diarak. Mereka berdua hanya diam, yang keluar hanya air mata.
"Ada bukti?" tanya Sumardi lagi.
Orang-orang diam tidak berkata-kata. Melihat situasi ini, Pak Rete pun merasa bahwa akan ada hal yang buruk. Ia pun diam-diam pergi menjauh.
"Kalau tidak ada, kenapa kalian berbuat seperti ini? Sudah, bubar-bubar!" ucap Sumardi.
"Tapi, Pak, ini baru separuh kampung!" tanggap seseorang.
"Separuh raimu! Otakmu ya yang setengah! Bubar atau kalian kuglendeng ke kantor polisi semua?!"
Orang-orang pun ciut. Mereka langsung pergi meninggalkan Sumardi dan sepasang kekasih yang tadi mereka arak. Sepasang kekasih itu pun kembali mengenakan pakaian dan di bawa ke kantor polisi setempat untuk dimintai keterangan.
Setelah sedikit berhasil mengatasi trauma dan menghimpun data yang cukup, Sumardi pun menyimpulkan: sepasang kekasih itu tak bersalah. Pada saat di pekarangan rumah, si lelaki hanya sedang memasangkan kalung di leher pacarnya.
"Lalu kenapa kalian tak membicarakan kebenaran ini pada masyarakat?" tanya Sumardi sehabis menulis laporan.
"Bagaimana kami bisa bicara, Pak? Lha wong mulut kami disumpal dengan puluhan pertanyaan intimidatif yang tak sedetikpun berhenti," jawab si lelaki lesu.
Dengan adanya fakta ini, maka lahirlah fakta baru: Pak Rete adalah dalang atas semua ini karena telah asal tuduh tanpa bukti. Kini, ia pun jadi buronan polisi sekaligus orang-orang. Karena selain kasus ini, Pak Rete ternyata juga sudah satu minggu tidak ngantor. Pekerjaan di kantor pun banyak yang terbengkalai.
Nun di Pekalongan, rasa gelisah sekaligus
senang melanda Pak Rete. Gelisah karena tahu bahwa ia sedang dikejar, senang
karena ia bisa kabur sekaligus mendapat hiburan baru. Iya, ia adalah salah satu
dari sekian banyak orang yang mendokumentasikan penelanjangan tempo hari di
gawai. Sekarang, walau tidak ada Munaroh di sampingnya, Pak Rete bisa
menyalurkan hasrat berahinya. Iya, hanya dengan foto dan video perempuan
telanjang yang lumayan cantik itu.
Sekaran, 15 November 2017
Tags:
Cerpen