Judul buku : Kembang Jepun
Penulis : Remy Sylado
Tahun terbit : 2003
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Tebal buku : 328 hlm
Cetakan : I Januari 2003 : II April 2003
Hidup adalah mengikuti garis takdir. Ke mana takdir akan membawa, ke sana hidup mengalir dan bermuara. Manusia boleh merencanakan, namun Tuhan tetap yang memutuskan. Pepatah Jepang mengatakan kino cho katami mokanashi, asu to yu, tanomi hakana kyo ni ikinan. Yang artinya, serbaduka ingatan hari kemarin, ketidakpastian di hari esok, maka biarlah hidup menjadi hidup di hari kini. (Kembang Jepun : 241)
Novel ini menceritakan tentang sejarah hidup seorang gadis asal Manado dari awal ia menjadi geisha, istri wartawan, tawanan Jepang, hingga sebatang kara di dalam hutan. Ia tanpa sengaja dijadikan geisha oleh kakaknya sendiri. Ia adalah Keke yang kemudian berganti nama menjadi Keiko, gadis yang dibentuk menjadi geisha berkepribadian Jepang sejak usia 9 tahun. Ia begitu menikmati perannya sebagai geisha di Shinju, rumah bordil Jepang yang menyamar sebagai restoran khas Jepang di zaman pendudukan Hindia Belanda tahun 1930-40an. Ia menjadi kembangnya geisha di sana. Dan orang-orang menyebutnya “Kembang Jepun”.
Jalan hidup membuatnya bertemu dan menjalin kasih dengan Tjak Broto, seorang wartawan cerdas yang di kemudian hari menjadi tahanan Belanda karena pemberitaannya yang dianggap membahayakan. Di masa tahanan itulah, keduanya menanggung rindu yang tiada terkira. Hingga pada masanya, Keke memutuskan keluar dari Shinju dan menikah dengan Broto yang baru dibebaskan dari penjara Kalisosok.
Keindahan rumah tangga mereka –yang awalnya tidak mendapat restu sang ibu, mau tak mau harus mengalami badai atas pendudukan Jepang terhadap Indonesia. Keke, dalam usaha menyelamatkan Broto yang ditangkap Jepang dan hendak ditembak guna meneror rakyat, harus pasrah ditawan oleh Hiroshi Masakuni, seorang tamu Shinju yang jatuh cinta padanya dan terpaksa merebutnya dari Tjak Broto. Selama masa tahanan birahi itu, Keke hanya bisa pasrah karena kekejaman Jepang yang sulit ditembus. Hingga akhirnya ia terpaksa ikut Hiroshi Masakuni ketika Jepang kalah dan dipulangkan ke negara asalnya. Di sana, Keke harus menanggung derita sebagai babu walau statusnya diperkenalkan sebagai istri Hiroshi Masakuni. Hingga akhirnya Keke bertemu Yoko.
Yoko adalah okasan, inang geisha di Shinju karena ia yang lebih tua dan berpengalaman. Di Jepang sana, ia bertemu dengannya dan Yoko membantunya kembali ke Indonesia. Kabarnya, Hiroshi Masakuni telah mati dalam utusan Perang Korea sehingga Keke bisa bebas ke manapun ia mau. Ia rela bekerja selama 8 tahun untuk mengumpulkan uang guna kembali ke Indonesia. Walau dalam perjalanannya ia ragu sekaligus rindu kepada kekasihnya, Broto. Apakah Broto masih seperti yang dulu?
Keke dihadapkan pada perasaan haru dan putus asa ketika pulang ke Surabaya, 12 tahun kemudian dari kepergiannya ke Jepang, bahwa kekasihnya, Broto masih hidup dan telah menikah lagi. Kini ia tinggal di Bandung bersama istri barunya. Dalam batin terpukul, Keke mmeutuskan kembali ke kampung halamannya, ke Manado.
Namun, perjalanan tak semulus yang diharapkan. Saat itu di Manado sedang terjadi pemberontakan Permesta terhadap kepemimpinan Soekarno yang mendukung paham komunis. Celakanya, Keke justru menjadi tawanan beberapa kelompok pemberontakan Permesta di tengah hutan, di sebuah bivak –pondok sementara dalam peperangan, bivouac dalam bahasa Perancis. Selama berminggu-minggu ia hanya dianggap sebagai barang rekreasi birahi semata. Hingga akhirnya datang pesawat yang menumpas habis para penghuni bivak, hanya tertinggal dua orang yang berhasil kabur serta ia seorang yang masih tertawan. Cerita kemudian membawa Keke bertahan hidup di bivak itu hingga renta.
Dua puluh lima tahun kemudian, seorang kemenakan secara tak langsung menemukannya ketika sedang meliput daerah di Manado yang cocok digunakan transmigrasi dan perluasan areal lahan. Kemenakannya itu tak lain adalah putra Rahajoe, adik Tjak Broto yang kebetulan menikah dengan wanita Manado dan tinggal di sana. Sebagai seorang wartawan, ia menuliskan kisah tentang Keke yang langsung diketahui oleh Tjak Broto di Surabaya.
Tjak Broto yang telah menduda sejak istri keduanya meninggal, segera menemui Keke yang saat itu terbaring lemas di pesakitan rumah sakit. Keduanya dipersatukan setelah tempaan waktu yang panjang, dalam keadaan renta namun cinta mereka masih membara dan mekar kembali layaknya bunga sakura. Keduanya pun memutuskan hidup bersama kembali, menjalani ikrar yang pernah diucapkan sekali, sehidup semati.
Novel ini, bukan hanya menceritakan tentang kehidupan pribadi seorang Keke, namun juga menampilkan sejarah bagaimana keadaan bangsa Indonesia di masa pendudukan Hindia Belanda hingga paska kemerdekaan. Melalui galian informasi sejarah yang valid, serta penyampaian dengan menuliskan kronologi waktu menjadikan novel ini sebagai media ringan untuk mengenal sejarah bangsa Indonesia.
Sang penulis juga dengan lihai menggunakan kosakata Jepang, memperkenalkan budaya-budaya Jepang, serta seluk beluk Jepang melalui tokoh Yoko, Keke, dan Hiroshi Masakuni. Jepang dalam karangan penulis digambarkan sedemikain proporsional sehingga esensi cerita tetap pada penggambaran sejarah hidup tentang “Kembang Jepun” dan kondisi Indonesia masa penjajahan.
Novel ini sangat cocok dibaca siapa saja, terutama kaum pelajar dan orang-orang yang tertarik di bidang sejarah. Pertama, novel ini bukan sekedar novel, tetapi juga disertai catatan kaki yang valid atas istilah-istilah asing. Kedua, novel ini menceritakan dengan sudut pandang orang pertama sebagai serba tahu sehingga jalan cerita lebih mudah diikuti. Ketiga, dengan penggambaran yang apik dan estetis, serta bahasa yang sederhana dapat menggugah siapa saja agar mengenal sejarah dan menghargai pengorbanan para pahlawan untuk selanjutnya memajukan dan menjaga keutuhan NKRI. (SNA)
Penulis : Remy Sylado
Tahun terbit : 2003
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Tebal buku : 328 hlm
Cetakan : I Januari 2003 : II April 2003
Hidup adalah mengikuti garis takdir. Ke mana takdir akan membawa, ke sana hidup mengalir dan bermuara. Manusia boleh merencanakan, namun Tuhan tetap yang memutuskan. Pepatah Jepang mengatakan kino cho katami mokanashi, asu to yu, tanomi hakana kyo ni ikinan. Yang artinya, serbaduka ingatan hari kemarin, ketidakpastian di hari esok, maka biarlah hidup menjadi hidup di hari kini. (Kembang Jepun : 241)
Novel ini menceritakan tentang sejarah hidup seorang gadis asal Manado dari awal ia menjadi geisha, istri wartawan, tawanan Jepang, hingga sebatang kara di dalam hutan. Ia tanpa sengaja dijadikan geisha oleh kakaknya sendiri. Ia adalah Keke yang kemudian berganti nama menjadi Keiko, gadis yang dibentuk menjadi geisha berkepribadian Jepang sejak usia 9 tahun. Ia begitu menikmati perannya sebagai geisha di Shinju, rumah bordil Jepang yang menyamar sebagai restoran khas Jepang di zaman pendudukan Hindia Belanda tahun 1930-40an. Ia menjadi kembangnya geisha di sana. Dan orang-orang menyebutnya “Kembang Jepun”.
Jalan hidup membuatnya bertemu dan menjalin kasih dengan Tjak Broto, seorang wartawan cerdas yang di kemudian hari menjadi tahanan Belanda karena pemberitaannya yang dianggap membahayakan. Di masa tahanan itulah, keduanya menanggung rindu yang tiada terkira. Hingga pada masanya, Keke memutuskan keluar dari Shinju dan menikah dengan Broto yang baru dibebaskan dari penjara Kalisosok.
Keindahan rumah tangga mereka –yang awalnya tidak mendapat restu sang ibu, mau tak mau harus mengalami badai atas pendudukan Jepang terhadap Indonesia. Keke, dalam usaha menyelamatkan Broto yang ditangkap Jepang dan hendak ditembak guna meneror rakyat, harus pasrah ditawan oleh Hiroshi Masakuni, seorang tamu Shinju yang jatuh cinta padanya dan terpaksa merebutnya dari Tjak Broto. Selama masa tahanan birahi itu, Keke hanya bisa pasrah karena kekejaman Jepang yang sulit ditembus. Hingga akhirnya ia terpaksa ikut Hiroshi Masakuni ketika Jepang kalah dan dipulangkan ke negara asalnya. Di sana, Keke harus menanggung derita sebagai babu walau statusnya diperkenalkan sebagai istri Hiroshi Masakuni. Hingga akhirnya Keke bertemu Yoko.
Yoko adalah okasan, inang geisha di Shinju karena ia yang lebih tua dan berpengalaman. Di Jepang sana, ia bertemu dengannya dan Yoko membantunya kembali ke Indonesia. Kabarnya, Hiroshi Masakuni telah mati dalam utusan Perang Korea sehingga Keke bisa bebas ke manapun ia mau. Ia rela bekerja selama 8 tahun untuk mengumpulkan uang guna kembali ke Indonesia. Walau dalam perjalanannya ia ragu sekaligus rindu kepada kekasihnya, Broto. Apakah Broto masih seperti yang dulu?
Keke dihadapkan pada perasaan haru dan putus asa ketika pulang ke Surabaya, 12 tahun kemudian dari kepergiannya ke Jepang, bahwa kekasihnya, Broto masih hidup dan telah menikah lagi. Kini ia tinggal di Bandung bersama istri barunya. Dalam batin terpukul, Keke mmeutuskan kembali ke kampung halamannya, ke Manado.
Namun, perjalanan tak semulus yang diharapkan. Saat itu di Manado sedang terjadi pemberontakan Permesta terhadap kepemimpinan Soekarno yang mendukung paham komunis. Celakanya, Keke justru menjadi tawanan beberapa kelompok pemberontakan Permesta di tengah hutan, di sebuah bivak –pondok sementara dalam peperangan, bivouac dalam bahasa Perancis. Selama berminggu-minggu ia hanya dianggap sebagai barang rekreasi birahi semata. Hingga akhirnya datang pesawat yang menumpas habis para penghuni bivak, hanya tertinggal dua orang yang berhasil kabur serta ia seorang yang masih tertawan. Cerita kemudian membawa Keke bertahan hidup di bivak itu hingga renta.
Dua puluh lima tahun kemudian, seorang kemenakan secara tak langsung menemukannya ketika sedang meliput daerah di Manado yang cocok digunakan transmigrasi dan perluasan areal lahan. Kemenakannya itu tak lain adalah putra Rahajoe, adik Tjak Broto yang kebetulan menikah dengan wanita Manado dan tinggal di sana. Sebagai seorang wartawan, ia menuliskan kisah tentang Keke yang langsung diketahui oleh Tjak Broto di Surabaya.
Tjak Broto yang telah menduda sejak istri keduanya meninggal, segera menemui Keke yang saat itu terbaring lemas di pesakitan rumah sakit. Keduanya dipersatukan setelah tempaan waktu yang panjang, dalam keadaan renta namun cinta mereka masih membara dan mekar kembali layaknya bunga sakura. Keduanya pun memutuskan hidup bersama kembali, menjalani ikrar yang pernah diucapkan sekali, sehidup semati.
Novel ini, bukan hanya menceritakan tentang kehidupan pribadi seorang Keke, namun juga menampilkan sejarah bagaimana keadaan bangsa Indonesia di masa pendudukan Hindia Belanda hingga paska kemerdekaan. Melalui galian informasi sejarah yang valid, serta penyampaian dengan menuliskan kronologi waktu menjadikan novel ini sebagai media ringan untuk mengenal sejarah bangsa Indonesia.
Sang penulis juga dengan lihai menggunakan kosakata Jepang, memperkenalkan budaya-budaya Jepang, serta seluk beluk Jepang melalui tokoh Yoko, Keke, dan Hiroshi Masakuni. Jepang dalam karangan penulis digambarkan sedemikain proporsional sehingga esensi cerita tetap pada penggambaran sejarah hidup tentang “Kembang Jepun” dan kondisi Indonesia masa penjajahan.
Novel ini sangat cocok dibaca siapa saja, terutama kaum pelajar dan orang-orang yang tertarik di bidang sejarah. Pertama, novel ini bukan sekedar novel, tetapi juga disertai catatan kaki yang valid atas istilah-istilah asing. Kedua, novel ini menceritakan dengan sudut pandang orang pertama sebagai serba tahu sehingga jalan cerita lebih mudah diikuti. Ketiga, dengan penggambaran yang apik dan estetis, serta bahasa yang sederhana dapat menggugah siapa saja agar mengenal sejarah dan menghargai pengorbanan para pahlawan untuk selanjutnya memajukan dan menjaga keutuhan NKRI. (SNA)
Tags:
Buku