Oleh Imam Syafi'i (PMII Komisariat Al-Ghozali Semarang) pada Selasa – 00:30 WIB
Benturan paradigma
keilmuan ini seringkali membuat kalangan pesantren resisten terhadap perguruan
tinggi. Banyak santri yang kemudian dilarang melanjutkan studi di universitas
karena berbagai alasan, termasuk melindungi akidah dan keberkahan ilmu.
Meskipun begitu, masih banyak juga pesantren yang mendorong para santrinya
untuk studi lanjut seperti Pesantren Raudhatul Ulum, Pati dan Pesantren
Balekambang, Jepara yang alumninya tersebar di berbagai perguruan tinggi.
Bagi saya pro-kontra
ini adalah fenomena yang biasa karena dasar pijakan keilmuan pesantren adalah
untuk membentuk pribadi yang bertaqwa dan berakhlakul karimah. Sedangkan
perguruan tinggi lebih menekankan pada membentuk pribadi yang mampu
mengembangkan pengetahuan dan mengkontekstualisasikan dengan perkembangan zaman.
Bagi kalangan pesantren
ilmu pengetahuan selalu berbanding lurus dengan akhlak terpuji, terutama dalam
hal hubungannya dengan Sang Pencipta. Dasar pijakan ini adalah pandangan Imam
Ghozali yang menganggap bahwa menuntut ilmu adalah sebentuk pendekatan diri
kepada Tuhan. Begitu juga dengan pandangan Imam Syafi’i yang dijadikan pegangan
oleh para santri, bahwa al-‘ilmu nuurun wa nuurullahi la yuhda lil ‘asy,
ilmu itu cahaya dan cahaya Allah tidaklah diturunkan pada orang bermaksiat.
Dengan kata lain, maksiat adalah penghalang pancaran cahaya Tuhan kepada
hamba-Nya.
Hal ini yang seringkali
menjadi justifikasi oleh kalangan pesantren kepada perguruan tinggi karena
banyaknya “oknum” santri yang menanggalkan identitas kesantriannya setelah
menjadi mahasiswa. Banyak kasus santri (sekali lagi hanya oknum) yang sholatnya
menjadi bolong-bolong bahkan tidak pernah sama sekali setelah ia belajar di
perguruan tinggi, biasanya ini diidentikkan dengan mahasiswa filsafat. Padahal
seperti yang diyakini kaum pesantren, bertambahnya ilmu seharusnya berbanding
lurus dengan ketaatan.
Perbedaan paradigma
yang sangat kontras ini seringkali membuat santri yang belajar di perguruan
tinggi kerap mengalami semacam shock culture. Bagaimana tidak, di
lingkungan pesantren, para pengajar, ustadz, guru, atau kiai dipersamakan
dengan penyampai ilmu yang diturunkan oleh Tuhan. Konsekuensi logisnya adalah
menghormati dan mematuhi mereka hukumnya wajib. Sedangkan di perguruan tinggi,
seorang dosen sebatas berperan sebagai media perantara, katalisator, bukan penyampai
ilmu, sehingga diskusi dan perdebatan dengan dosen adalah sesuatu yang jamak
dan malah dianjurkan untuk membentuk kultur akademik yang sehat.
Tak heran ketika dosen
melakukan kesalahan berkata-kata dalam lisan maupun tulisan, tak ayal mahasiswa
akan mempertanyakan, dan jika perlu mendebat. Alih-alih su’ul adab,
mahasiswa yang menentang, melawan, dan memberontak dosen justru dapat dianggap
berhasil melakoni perannya.
Dari Santri Menjadi Mahasantri
Dalam dunia pesantren
ada maqolah yang cukup masyhur yang berbunyi al muhafadzotu ala qodiimi
ash-sholihu wal akhdzu bil jadiidi al-ashlahu, menjaga tradisi yang sudah
baik dan mengambil hal-hal baru yang lebih baik untuk berinovasi. Hal konteks
pembahasan ini, santri yang belajar di perguruan tinggi tidak lantas harus
menanggalkan kesantriannya, justru santri harus tetap menjaga identitas
santrinya seperti misal dengan tetap menjalankan rutinitas seperti sholat lima
waktu, tahlilan, sholawatan, manaqiban,
dan lain sebagainya. Ini adalah sebuah bentuk konkrit dari penerapan al
muhafadzotu ala qodiimi ash-sholihu wal akhdzu bil jadiidi al-ashlahu.
Selanjunya dalam upaya
mewujudkan wal akhdzu bil jadiidi al-ashlahu, para santri sudah
selayaknya mengeksplorasi apa saja yang bisa diambil manfaat dan pelajaran dari
perguruan tinggi untuk mengembangkan diri dan peradaban. Apa yang sering
dikatakan banyak orang sebagai “ilmu umum” juga penting dalam upaya mewujudkan
transformasi kehidupan bermasyarakat seperti yang dilakukan oleh K. H. Wahid Hasyim saat mereformasi
kurikulum pesantren dulu.
Ilmu pesantren bisa
dijadikan fondasi, sedangkan ilmu yang didapat di perguruan tinggi bisa
dijadikan media untuk berimprovisasi dalam konteks kehidupan agar selalu
dinamis mengikuti ruang dan waktu, relevan likulli zaman wa makan.
Santri harus mampu berkembang lebih dari siapapun karena
bagaimanapun (tanpa bermaksud menafikan yang lain) pilar penyokong berdiri dan
tegaknya NKRI dari dulu hingga sekarang adalah kaum santri.
Di era kekinian pun,
perjuangan garda terdepan dalam upaya mempertahankan moderasi Islam yang
berbanding lurus dengan perjuangan kebangsaan juga banyak dilakukan oleh para
akademisi yang berlatar belakang santri. Sebut saja Moh. Yasir Alimi, sosiolog
Universitas Negeri Semarang; Sumanto Al Qurtuby, Profesor King Fahd University;
Nadirsyah Hosen, Guru Besar Monash University; hingga Ulil Abshar Abdalla,
Dosen Unusia yang semakin moncer dengan Ngaji Ihya’nya. Mereka semua adalah prototype
figur santri yang sekaligus seorang akademisi. Jadi bukan masalah siapa yang lebih
baik antara pesantren atau perguruan tinggi, melainkan tentang mengapa harus
dibenturkan ketika keduanya bisa saling melengkapi.
Tags:
Opini