Banyak pihak telah
menyatakan sikap terkait penolakan teradap revisi RUU yang diinisiasi dan
diusulkan oleh DPR (revisi UU KPK). ICW, LIPI, berbagai kampus, dan elemen
masyarakat lainnya telah mneyatakan sikap penolakan. Pembahasan RUU ini memang
mengindahkan aspek transparansi, aspirasi, dan partisipasi publik. Bahkan bila ditelisik lebih jauh, RUU
ini bisa dinilai cacat karena tidak memenuhi persyaratan formal terbentuknya
UU. Sebab tidak masuk dalam Prolegnas sebagaimana tercantum dalam Pasal 45 ayat
1 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Revisi UU KPK yang
diinisiasi oleh DPR dengan memuat beberapa point-point yang kurang lebih dipandang
banyak pihak mengandung substansi dapat melemahkan kedudukan, kinerja dan
fungsi KPK sebagai lembaga independen. Berikut adalah beberapa poin bermasalah
yang bisa melumpuhkan Komisi Antikorupsi ini.
Rincian secara
ringkasnya adalah:
- KPK tidak disebut sebagai lembaga Independen yang bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun, melainkan akan diubah menjadi lembaga Pemerintah Pusat, dan pegawainya berstatus ASN/PNS;
- Penyadapan hanya bisa dilakukan atas izin Dewan Pengawas dan waktunya dibatasi 3 bulan;
- Dewan Pengawas dipilih DPR dan menyampaikan laporannya ke DPR setiap tahunnya. Dewan Pengawas berwenang memberi izin untuk penyadapan, penggeledahan dan penyitaan;
- Penyelidik KPK cuma berasal dari Polri. Adapun penyidik KPK berasal dari Polri dan PPNS (tak ada lagi penyidik dan penyelidik independen);
- KPK harus berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung dalam penuntutan perkara korupsi;
- Kasus yang mendapat perhatian dan meresahkan masyarakat tidak lagi menjadi salah satu kriteria perkara yang ditangani KPK;
- Pengambilalihan perkara oleh KPK hanya bisa dilakukan untuk proses penyelidikan. KPK tidak lagi bisa mengambil alih penuntutan sebagaimana sekarang diatur di Pasal 9 UU KPK;
- KPK tidak berwenang lagi melakukan pelarangan bepergian ke luar negeri, menghentikan transaksi keuangan terkait korupsi, meminta keterangan perbankan, serta meminta bantuan Polri dan Interpol;
- KPK bisa menghentikan penyidikan dan penuntutan;
- Wewenang KPK mengelola pelaporan dan pemeriksaan LHKPN dipangkas sehingga lembaga ini hanya bisa melakukan koordinasi dan supervisi terkait LHKPN.
Poin-poin diatas akan melemahkan KPK dalam beberapa
aspek. Pertama, jika KPK didudukan sebagai cabang eksekutif maka KPK akan
menjadi lembaga pemerintah. Hal ini akan membuat KPK tidak independen dan
sangat rentan berkonstelasi dengan kepentingan birokrasi pemerintah. Tak cukup
disitu, upaya untuk menjadikan pegawai KPK berstatus ASN, mau tidak mau akan
membatasi ruang gerak dan menjadikan KPK tunduk terhadap pemerintah.
Usulan adanya
Dewan Pengawas KPK yang memiliki wewenang dominan dan dibentuk atas usulan DPR,
akan semakin mengebiri KPK. Dalam revisi UU KPK tersebut mengharuskan setiap
penyadapan yang akan dilakukan oleh KPK, harus mendapatkan ijin dari Dewan
Pengawas. Hal ini tentu akan berdampak terhadap upaya penyadapan KPK yang akan berlangsung lambat, dan bisa jadi akan
kehilangan momentum untuk menangkap pelaku suap, bahkan penyadapan bisa
dibatalkan jika tidak mendapat izin oleh Dewan Pengawas, Hal ini tentunya akan
menurunkan efektivitas kerja KPK secara draftis.
Selanjutnya adanya kewenangan terkait Surat Perintah
Penghentian Penyidikan (SP3). SP3 diterbitkan untuk perkara tindak pidana
korupsi yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu
setahun. Kalau dicermati pengungkapan kasus korupsi bukanlah perkara mudah yang
bisa selesai secepat itu. Bila berkaca atas pengungkapan kasus-kasus korupsi,
sejauh ini membutuhkan waktu yang cukup lama. Artinya pembatasan waktu satu
tahun ini akan sangat memungkinkan bahwa, kedepan banyak kasus korupsi yang
terlantar tak selesai di usut dan tentunya banyak yang tak terjamah seiring
semakin menggelembungnya kasus korupsi. KPK sedang tidak berlomba berlari
melainkan menuntaskan perilaku imoral pejabat yang menggunakan wewenang untuk
memperkaya dirinya.
Revisi UU KPK juga
mengatur asal penyelidik dan penyidik. Dalam revisi tersebut dinyatakan bahwa
penyelidik KPK harus berasal dari Polri, Kejaksaan Agung RI, dan penyidik PNS
yang diberi kewenangan khusus oleh UU. Jadi
singkat kata tidak ada penyidik yang independen di dalam kubu KPK jika revisi
itu disepakati. Hari ini siapa yang tak tahu kerja Polri dan Kejaksaaan Agung?
Mereka bahkan tak mampu membuat masyarakat mengapresiasi baik kinerjanya. Di
sisi lain, penyidik independenlah yang sejauh ini mampu bekerja dengan baik
tanpa tendensi apapun. Fakta di lapangan hari ini juga menunjukkan bahwa
kinerja PPNS (Penyidik Pegawai Negeri Sipil) sangat buruk, dan tidak dapat
menangani kasus kejahatan besar. PPNS di KPK juga harus tunduk pada mekanisme
korwas yang dikendalikan oleh kepolisian, hal ini justru akan mengebiri fungsi
KPK sebagai lembaga yang mensupervisi dan mengkoordinasi penanganan pidana
korupsi.
Terkait revisi ini, Jokowi mengeluarkan
pernyataan yang mengklaim bahwa telah
menolak empat poin dalam draf revisi Undang-undang No 30 tahun 2002. Padahal
fakta mengatakan bahwa diantara empat poin yang disampaikan Jokowi, hanya ada
dua poin yang masuk dalam draf revisi UU KPK, itu artinya dua poin lainnya
memang tidak pernah ada dalam draf yang disusun oleh DPR. Selain tidak
sinkronya klaim pemerintah, ini semacam sebuah klise yang tak menyelesaikan
masalah apapun.
Pemerintah harusnya berkaca dengan apa
yang diucapkannya saat kampanye bahwa, upaya pemberantasan korupsi harus terus
ditingkatkan dengan menguatkan KPK. Sayangnya, janji ini seakan jauh panggang
dari api. Dimulai dari proses rekrutmen
Pimpinan KPK yang dinilai penuh intervensi, terlebih Pimpinan KPK yang terpilih
saat ini, Irjen Firli Bahuri adalah Kapolda Sumatera Selatan dan banyak di sorot
soal integritasnya. Kedua, tentu adalah soal revisi UU KPK, yang mana
pemerintah tidak menunjukan sikap tegas dalam menunjukan keberpihakannya pada
penguatan KPK dan pemberantasan korupsi, sebagaimana komitmenya dalam janji
politik saat kampanye.
Lantas
Bagaimana dengan isu adanya Kelompok Radikal atau Taliban di internal KPK?
Tuduhan bahwa
mereka yang menolak revisi UU KPK dianggap sebagai pendukung kelompok radikal
atau taliban adalah cara pikir yang cacat. Ini tak ada bedanya seperti
pemerintah otoriter Soeharto yang menempatkan setiap pengkritiknya adalah
kelompok PKI. Tuduhan ini bahkan tidak berdasar atas bukti apapun, kecuali soal stigma dan justifikasi dan
hoaks. Gerakan masyarakat dari berbagai elemen yang menolak revisi UU KPK tak
ada sangkut pautnya dengan apa yang disebut sebagai kelompok radikal atau
taliban.
Kalau toh memang
di dalam tubuh intrenal KPK terdapat kelompok tersebut, itu adalah persoalan
lain yang harus dibuktikan oleh pihak intelejen dan menjadi tanggungjawab semua
elemen bangsa. Keberpihakn fraksi DPR Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dalam
menolak revisi KPK tidak bisa dinilai memiliki benang merah dan kemudian
dianggap mewakili adanya kelompok taliban atau radikal di kubu internal KPK.
Sikap PKS juga tidak bisa dinilai mewakili aspirasi kepentingan masyarakat
banyak. Ini lebih semacam kebijakan yang bermuatan politis dari pihak yang
kalah dalam pemilu dan mencoba menarik simpati masyarakat untuk kepentingan
hajatan politik 5 tahunan.
Munculnya gerakan
penolakan terhadap revisi UU KPK di dasari oleh keinginan untuk menegakkan
supremasi hukum terkait pemberantasan Korupsi. Jadi kesimpulannya adalah tak
ada hubungannya gerakan penolakan terhadap revisi UU KPK dengan keberadaan
kelompok tersebut. Kalau toh semisal memang ada dan ditemukan beberapa orang
dari kelompok tersebut yang terlibat dalam gerakan ini, sekali lagi ini soal
lain. Bukankah kita sedang memperjuangkan demokrasi dan “kehidupan yang lebih baik”
yang berlandaskan keadilan menuju kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia
dengan bingkai NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, dan bukan yang
lain, apalagi memperjuangkan ego dari sekelompok pihak?
Dengan mencermati
kondisi yang ada saat ini. Atas nama organisasi, PMII Komisariat Alghozali
Menyatakan Sikap;
- Dengan tegas menolak segala bentuk upaya pelemahan yang dilakukan terhadap Komisi Pemberantas Korupsi (KPK).
- Mendesak Pemerintah untuk menolak revisi UU KPK secara penuh.
- Mendesak pemerintah agar ditegakkannya supremasi hukum dan mendorong terus upaya pemberantasan korupsi—yang kita tahu bersama semakin akut, di tanah air.
- Menghimbau seluruh anggota dan kader PMII di lingkungan Komisariat Al-Ghozali untuk terus mendukung upaya pemberantasan korupsi, salah satunya dengan penguatan KPK dan menolak segala bentuk pelemahan terhadap KPK.
Note:
Kami juga sepaham
dengan apa yang disampaikan oleh Muhammad Al-Fayyadl dalam status akun FB: “Kala
oligarki, kartel, dan mafia mengkudeta negara dan membekap sistem presidensiil,
perlu pelampauan atas sistem ini. Pemilihan pimpinan KPK, misalnya, tidak
dilakukan oleh presiden dan parlemen, tapi dilakukan atas dasar jajak pendapat
publik. Kita kembalikan demokrasi kepada "volonté générale".
Presiden hanya mengetahui dan mengakui.
Dengan sistem yang ada sekarang, KPK
tidak punya kesempatan mengusut korupsi presiden, lantaran presidenlah yang
mengangkatnya. (Presiden baru diusut setelah selesai jabatan.) Begitu juga
untuk pimpinan kepolisian dan pimpinan lembaga peradilan (kehakiman), dipilih
dari jajak pendapat publik. Bukan seperti sekarang: oleh presiden atas usulan
DPR.
Rumus
oligarki cuma satu: kuasai legislatornya, sandera presidennya dan satuan
yudikatif, merampok negara pun menjadi "legal".
Konsepsi Trias Politica harus
dianggap usang. Di negara yang ketiga golongan politiknya sudah demen duit atau
hanya cari aman mengamankan proyek berduit dan para investornya (yang orangnya
ya itu-itu saja, di parpol-parpol itu-itu juga), atas nama
"pembangunan", "infrastruktur", dll.”
Penulis: Labiqul Aqil
Editor: Eko Santoso
Tags:
Rilis
Siap
BalasHapusMantab bat, #menolakpelemahanKPK
BalasHapus#KuatkanKPK
BalasHapusMantap lhoss gak rewel
BalasHapus