Indonesia Darurat Kebakaran Hutan dan Lahan


Hutan sebagai paru-paru dunia merupakan salah satu sumber daya alam ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa yang memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan alam di belahan dunia. Terdapat berbagai jenis makhluk hidup berupa hewan besar maupun kecil bahkan sampai yang tidak terlihat oleh mata. Selain itu tumbuh beribu pepohonan yang tumbuh menjadi satu kesatuan. Hutan di Indonesia mempunyai peranan penting baik ditinjau dari aspek ekonomi, sosial budaya maupun ekologi, namun tidak dapat dipungkiri bahwa semakin berkembangnya penduduk dan pertumbuhan nasional, tekanan terhadap sumber daya hutan semakin meningkat. Guna mempertahankan produktivitasnya, untuk itu sumber daya ini perlu dijaga kelestariannya. Sebagai negara yang memiliki hutan tropis dataran rendah terluas ketiga di dunia setelah Zaire dan Brazil, sumber daya hutan di Indonesia memiliki kandungan potensi yang sangat besar untuk dikembangkan. Keberadaan hutan harus dijaga dan dilindungi agar ekosistem dalam hutan tetap tumbuh dan berkembang demi pembangunan negara di masa depan. 

Kebakaran Hutan dan Lahan


Kebakaran hutan di Indonesia bukan sebuah hal baru. Dalam dua dekade ke belakang, salah satu kebakaran hutan terbesar terjadi di tahun 1997/1998. Dimana luas area terbakar mencapai 9,75 Juta ha yang tersebar di beberapa titk seperti Sumatera, Jawa, Sulawesi, Irian Jaya, dan terbesar di Kalimantan (6,5 juta ha) (Saharjo, et al., 2018). Hal ini diperkuat oleh salah satu hasil riset Afid Nurkholis dari Fakultas Geografi UGM Yogyakarta dengan judul Analisis Temporal Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia Tahun 1997 dan 2015 menyebutkan, kebakaran hutan di Riau (dan Kalimantan) pada 1997 merupakan sejarah kebakaran terparah yang pernah terjadi. Menurut Laporan Kementerian Lingkungan (1998), karhutla tahun 1997 menghancurkan sekitar 383.870 hektar. Namun, sumber lain yang dikutip oleh Herman Hidayat dalam buku Politik Lingkungan: Pengelolaan Hutan Masa Orde Baru dan Reformasi (2008) menunjukkan data berbeda, bahkan jauh lebih luas dari yang diakui pemerintah. Menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), dalam 10 tahun terakhir, angka kebakaran hutan dan lahan di Indonesia telah mencapai 1.226 kejadian. 

Kebakaran lahan dan hutan sudah menjadi agenda rutin setiap tahun di Indonesia. Sempat memuncak di tahun 2015, di tahun 2019 kebakaran lahan dan hutan kembali terjadi dan diklaim sebagai kebakaran hutan terparah dalam kurun waktu 3 tahun terakhir yang memakan sebanyak sekitar 857 ribu hektar lahan (hampir 900 ribu hektar). Terdiri dari 630.451 hektar lahan mineral dan 227.304 hektar di gambut. Angka ini naik meningkat 160% jika dibandingkan luasan Agustus lalu, sekitar 328.724 hektar. 

Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) terpantau ada enam Provinsi dengan dampak terparah kebakaran. Enam Provinsi tersebut adalah Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat dan Kalimantan Selatan. Dalam hal ini Sumatra dan Kalimantan mejadi Provinsi dengan kebakaran hutan dan lahan paling luas dan merupakan langganan kebakaran hutan dan lahan tiap tahunnya. 

Sebaran wilayah luas lahan yang terbakar terbakar, antara lain, Aceh 680 hektar, Bengkulu 11 hektar, Bangka Belitung 3.228 hektar, dan Kepulauan Riau 6.124 hektar. Lalu, Jambi 39.638 hektar, Lampung 6.560 hektar, Riau 75.871 hektar, Sumatera Barat 1.449 hektar, Sumatera Selatan 52.716 hektar, Sumatera Utara 2.416 hektar. Kemudian, Kalimantan Barat 127.462 hektar, Kalimantan Selatan 113.454 hektar, Kalimantan Tengah 134.227 hektar, Kalimantan Timur 50.056 hektar, Kalimantan Utara 2.878 hektar. Kalau dibandingkan tahun-tahun sebelumnya—tak termasuk 2015–, areal terbakar mengalami peningkatan. Pada 2015, areal terbakar 2.611.411 hektar, 2016 seluas 438.363 hektar, 2017 seluas 165.484 hektar dan 2018 seluas 510.564 hektar. 

Sampai saat ini khusus Sumatera Selatan dikepung 1.297 titik api kebakaran hutan. Belum selesainya secara penuh kebakaran hutan dan lahan yang terjadi selama periode sebelum bulan oktober ini, Indonesia semakin darurat akan kebakaran hutan dan lahan dengan adanya kebakaran hutan baru di Kawah Putih, Ciwidey, Kabupaten Bandung seluas 241 hektar yang diduga kuat akibat ulah manusia. Kemudian kebakaran yang terjadi di lereng Gunung Slamet, Gunung Pasuruan dan masih banyak tempat lain yang ikut terbakar baik akibat ulah manusia ataupun faktor alam.

Kebakaran Hutan dan Alih Fungsi Lahan 

Kebakaran hutan dan lahan menjadi kejadian yang terus berulang di Indonesia setiap musim kemarau tiba. Potensi semakin membesar di daerah-daerah yang mempunya area lahan gambut yang luas seperti Riau, Jambi, Sumatera Selatan, serta Kalimantan . Menurut berbagai hasil kajian dan analisis (CIFOR, 2006 dan Walhi, 2006), penyebab kebakaran hutan dan lahan berhubungan langsung dengan perilaku manusia yang menginginkan percepatan penyiapan lahan (land clearing) untuk persiapan penanaman komoditas perkebunan. 

Para pihak yang berkepentingan ingin segera menyiapkan lahan dengan biaya yang serendah-rendahnya dan sekaligus mengharapkan kenaikan tingkat kemasaman (pH) tanah (dari sekitar 3 sampai 4 menjadi 5 sampai 6) agar tanaman perkebunan (sawit dan akasia, misalnya) dapat tumbuh dengan baik. Pembakaran hutan ini semakin cepat terjadi dengan banyaknya lahan gambut yang ada di wilayah hutan. Kalau diibaratkan lahan gambut sebagai spons yang terbuat dari sisa-sisa tumbuhan yang menyimpan karbon alami sehingga tidak mudah lepas di udara dan menyerap banyak air. Lahan gambut tak pernah kering walaupun pada musim kemarau. Namun ketika air di permukaan gambut dikeluarkan, lahan akan sangat mudah terbakar. Lahan gambut sudah sengaja dikeringkan setidaknya pada bagian atasnya. Kemudian ada manusia yang memantik api di permukaan gambut kering ini. Pun ketika ada upaya-upaya penanganan dengan pemadaman melalui pemadaman darat oleh tim gabungan, pemadaman udara dengan water bombing dan melalui teknologi modifikasi cuaca dengan menaburkan benih garam (NaCl) ke bibit-bibit awan. Namun, upaya ini belum cukup maksimal karena kedalaman gambut mencapai hingga 36 meter di dalam tanah.

Total 99 persen karhutla merupakan akibat dari ulah manusia. Kosongnya lahan pasca dibakar berimpilikasi pada penggunaan lahan untuk sektor lain. Ada sekitar 80 persen lahan yang terbakar berubah menjadi lahan perkebunan. Tidak bisa dipungkiri memang jika kini perkebunan sawit bertambah luas. Tercatat ada seluas 14,3 juta hektar perkebunan sawit, yang lebih luas dari pulau Jawa yang hanya 12, 82 juta hektar. 

Perlu diketahui jika kebakaran hutan dan lahan paling besar dilakukan oleh korporasi, sebagaimana diakui oleh KLHK yang menolak menyebutkan data korporasi pembakar hutan. Menurut data pemerintah ada 9 perusahaan (tersebar di Riau, Jambi, Sumsel, Kalteng, Kalbar, Kalsel) yang tertangkap membakar hutan dan lahan. Semuanya berafiliasi dengan sawit.

Sampai saat ini (per sabtu, 26 Oktober 2019) tersangka perorangan dan perusahaan kebakaran hutan dan lahan terus bertambah. Total sebanyak 19 perusahaan menjadi tersangka korporasi dan 368 tersangka perorangan. Bahkan ada beberapa korporasi yang bermasalah sudah lama namun tidak ada upaya penegakan hukum. Banyaknya permasalahan korporasi yang belum memiliki izin pelepasan kawasan hutan, pencemaran air danau dengan berubahnya warna air menjadi keruh, penutupan kanal batas desa dan belum memiliki analisis mengenai dampak lingkungan. Hal semacam ini seharusnya seharusnya dijadikan evaluasi sejak awal oleh pemerintah untuk melakukan tindak penegakan secara serius dengan banyaknya instrumen yang bisa dipakai dalam penegakan hukum. 

Agar jera, tak ada pilihan lain, pelaku harus ditindak sekeras-kerasnya dengan menggunakan semua instrumen hukum agar pelaku pembakaran hutan dan lahan jera, termasuk kemungkinan pencabutan izin, ganti rugi, denda, penjara dan pembubaran perusahaan.

Dampak Kebakaran Hutan dan Lahan 

Dampak kebakaran hutan dan lahan yang paling menonjol adalah terjadinya gumpalan asap tebal, mencemarilingkungan yang sangat mengganggu kesehatan masyarakat dan sistem transportasi sungai, darat, laut, dan udara. Secara sektoral dampak kebakaran ini mencakup sektor perhubungan, kesehatan, ekonomi, ekologi dan sosial, termasuk citra bangsa di mata negara tetangga dan dunia.

A. Aspek Kesehatan

Tercatat korban dari kebakaran hutan dan lahan 1.220.701 orang meninggal selama 18 tahun terakhir (2000-2018). Asap yang ditimbulkan menjadi polusi udara yang dapat menyebabkan penyakit pada saluran pernafasan seperti inspeksi saluran pernafasan atas (ISPA), asma, penyakit paru-paru obstruktif kronik, iritasi kulit, dan iritasi mata. Kita dapat melihat bahwasannya buruknya kualitas udara akibat asap dari kebakran hutan dan lahan ini sangat membahayakan kesehatan masyarakat. Kualitas udara yang dihirup tidak layak untuk dihirup dan tidak sehat dengan kualitas udara yang semakin memburuk dengan bau asap yang menyengat. Bahan polutan di asap kebakaran hutan yang jatuh ke permukaan bumi, juga mungkin dapat menjadi sumber polutan di sarana air bersih, dan makanan yang tidak terlindungi. Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) jadi lebih mudah terjadi terutama pada anak-anak dan bayi yang masih rentan, utamanya karena ketidak seimbangan daya tahan tubuh (host), pola bakteri/virus dan lainnya penyebab penyakit (agent), dan buruknya lingkungan. 

B. Kualitas Lahan

Kebakaran lahan dan hutan akan berdampak kepada ekologi dan hilangnya biodiversitas atau keragaman hayati. Menurut Secretariate of Convention on Biological Diversity (2001) ekologi diartikan sebagai komplek dinamis dari tanaman, hewan, dan komunitas mikroorganisme serta lingkungan yang saling berinteraksi, sedangkan biodiversity diartikan sebagai keragaman diantara organisme hidup seperti spesies, antar spesies dan antar ekosistem. Menurut Wobe (1998), dampak yang terjadi akibat kebakaran lahan pada ekologi yaitu menurunnya spesies dalam jumlah maupun keragaman. 

Kebakaran lahan dan hutan akan meningkatkan suhu yang dapat mengganggu aspek biologi tanah yang mulai terganggu pada kisaran suhu 40-700C, pada suhu tanah 48-540C akar mulai mati, pada suhu 70-900C biji-bijian mati dan pada suhu lebih dari 900C Mikoriza Vesicular Arbuscular akan mati (Firmansyah dan Subowo, 2012). Menurut penelitian Hermanto dan Wawan (2017) mikroba yang berfungsi sebagai dekomposisi atau pengurai selulase mati akibat kebakaran lahan. 

Selain itu kebakaran lahan juga dapat menurunkan kadar air tanah. Penelitian yang dilakukan oleh Hermanto dan Wawan (2017) menunjukkan bahwa semakin berat tingkat kebakaran lahan maka nilai kadar air semakin menurun. Kebakaran juga menghasilkan bahan mineral (abu) yang dapat menurunkan kadar air tanah gambut karena abu hasil pembakaran akan mengisi ruang pori untuk penyimpanan air tanah berkurang.

C. Aspek Sosial Budaya

Kebakaran hutan dan lahan menyebabkan tersebarnya asap dan emisi gas karbondioksida dan gas-gas lain keudara yang berdampak pada pemanasan global sehingga dapat mengakibatkan perubahan iklim. Asap yang dihasilkan juga menjadi masalah serius, asap terbawa oleh angin ke daerah lain bahkan sampai kepada Negara tetangga. Sehingga Negara-negara yang terkena dampak kabut asap lintas Negara dari kebakran hutan dan lahan di Indonesia seperti Malaysia, Singapura, dan Brunai Darusalam melayangkan kritik dan protes kepada Indonesia. Karena hal ini juga merugikan mereka. Inilah yang menuat kebakaran hutan dan lahan menjadi isu internasional yang harus segera dituntaskan dan dicarikan solusinya. Selain itu, kebakaran hutan dan lahan berimbas kepada kearifan yang hilang, karena sejatinya masyarakat setempat memiliki budaya atau kearifan lokal dalam melestarikan hutan yang biasanya dikelola melalui hukum adat. Kearifan lokal merupakan instrumen penting dalam pembangunan peradaban.

Berdasarkan pertimbangan diatas maka PMII Komisariat Al-Ghozali Semarang dengan ini menyatakan sikap : 
  1. Mengutuk keras pelaku pembakaran hutan dan perusakan lahan yang selama ini terjadi.
  2. Mendesak pemerintah pusat agar mencabut HGU dan menghentikan pemberian izin baru bagi perusahaan besar perkebunan.
  3. Menuntut pemerintah bertindak tegas dengan menangkap dan mengadili pelaku pembakaran hutan dengan menggunakan semua instrumen hukum yang berlaku.


                                                                                         TTD

                                                             Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia 
                                                                           Komisariat Al-Ghozali

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama