Masa Muda Al-Ghozali

Oleh Labiqul Aqil (Ketua Bidang Eksternal PMII Komisariat Al-Ghozali Semarang) pada Sabtu – 22:14 WIB


Ketika mendengar nama Al-Ghozali selain terpintas nama Komisariat Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia di Universitas Negeri Semarang, tentunya juga memunculkan nama salah satu tokoh besar di dunia islam dalam benak kita. Al-Ghozali adalah seorang Hujjatul Islam, ulama yang faqih dalam ilmu agama dan hafal lebih dari 300.000 ribu hadits, beliau juga ahli dalam bidang tasawuf dan filsafat, serta imam dan pejuang ahlussunnah dalam bidang aqidah.

Al-Ghozali memiliki nama asli Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Ath Thusi, Abu Hamid Al Ghazali. Dilahirkan di Desa Ghazalah, Kota Thus, Provinsi Khorasan, Persia (Kini Iran) pada tahun 450 H/1058 M dan memiliki seorang saudara yang bernama Ahmad Al Ghazali. Di dunia barat dia memiliki julukan tersendiri, yaitu Al-Gazel. Berbagai karyanya dijadikan rujukan oleh ulama seantero dunia. Karena kealimannya di berbagai disiplin keilmuan menjadikannya meraih puncak kejayaannya dengan memegang jabatan sebagai Naib Kanselor di Madrasah An Nidzhamiyah.

Dibalik cemerlangnya nama Al-Ghozali serta popularitasnya dalam berbagai disiplin keilmuan, tentunya ada berbagai hal yang perlu kita teladani dalam masa muda atau masa-masa belajar sang Hujjatul Islam ini. Jika pada umumnya di zaman sekarang mahasiswa yang identik dengan masa muda menghabiskan waktunya untuk berfoya-foya ke mall, tenggelam dalam hedonisme dan konsumerisme, bermanjakan dengan gadget di atas kasur kosnya serta “dipuk-puk” oleh aktivitas duniawi yang biasa disebut rebahan. Lantas apa yang dilakukan oleh Al-Ghozal pada usia yang sangat potensial tersebut?

Sebelum menjelaskan lebih lanjut, standar usia muda yang digunakan di sini adalah standar syabâb dalam Bahasa Arab dari usia baligh hingga empat puluh tahun, yang mana masih dalam kategori pemuda. Dengan standar ini akan dieksplorasi lebih dalam masa muda Al-Ghozali agar bisa diteladani oleh pemuda muslim saat ini. Setidaknya ada beberapa hal yang dilakukan oleh Al-Ghozali saat masihm muda.

Hal yang menarik dari Al-Ghozali diusia remaja adalah rasa ingin tahu yang tinggi serta gelisah dengan persoalan pengetahuan yang ada pada masanya. Bahkan ketika usia belum genap menginjak dua belas tahun Al-Ghozali mulai mengenal dan tertarik untuk belajar ilmu fiqih, hadis, tafsir, kalam, logika dan filsafat. Diriwayatkan juga bahwa Al-Ghozali tak pernah menghabiskan waktu untuk bermain dengan teman-teman seumurannya.

Saat masih remaja ia mempertanyakan berbagai premis-premis filosofis dan logis, mengotak-atik gagasan filsafat dan kalam, mencari celah kelemahannya layaknya seorang guru besar. Salah satu pertanyaan dari sekian banyak pertanyaan rumit yang sudah muncul dalam otaknya saat masih kecil adalah tentang konsep diri, Tuhan dan hukum alam. Beliau selalu bertanya tentang pengertian fitrah, apa hukumnya, bagaimana ia bekerja, apa peran Tuhan di dalamnya, siapa yang layak memiliki fitrah dan lain sebagainya.

Perjalanan Al-Ghozali dalam menuntut ilmu diawali dengan belajar ke sebuah madrasah di Kota Thus. Al-Ghozali beserta saudaranya merupakanseorang yatim-piatu. Ayahnya adalah seorang pengrajin kain shuf yang menjual barang dagangannya di kota Thus. Menjelang wafat beliau mewasiatkan pemeliharaan kedua anaknya kepada temannya yang seorang sufi. Beliau berpesan “Sungguh saya menyesal tidak belajar khat (tulis menulis Arab) dan saya ingin memperbaiki apa yang telah saya alami pada kedua anak saya ini. Maka saya mohon engkau mengajarinya, dan harta yang saya tinggalkan boleh dihabiskan untuk keduanya.”

Pada mulanya Al-Ghozali belajar dari seorang sufi hingga harta peninggalan yang sedikit dari ayahnya habis. Sufi tersebut meminta maaf karena tidak dapat melanjutkan mengajar Al-Ghozali dan menganjurkan ia masuk ke madrasah sebagai penuntut ilmu serta mendapatkan makanan untuk keberlangsungan hidup Al-Ghozali dan saudaranya.

Al-Ghozali mengakui bahwa pada awalnya ia memilih masuk madrasah tersebut bukan hanya untuk menuntut ilmu semata akan tetapi untuk mendapatkan makan. Seiring berjalannya waktu, ia semakin tenggelam dengan aktivitas belajar yang perlahan-lahan membuat Al-Ghozali menjadi pecinta ilmu. Di madrasah inilah Al-Ghozali mulai belajar fiqih dari Syaikh Ahmad bin Muhammad Ar Radzakani. Seusai belajar di kotanya sendiri, Al-Ghozali pergi ke Jurjan untuk menuntut ilmu kepada Imam Abu Nashr Al Isma’ili dan menulis kitab Al-Mankhul Min al-Ta’liqat al-Ushul. Al-Mankhul Min al-Ta’liqat al-Ushulmerupakan sebuah kitab yang berisi catatan kecil sebagai komentar atas berbagai isu dan persoalan dalam kalam serta filsafat.

Sebelumnya Al-Ghozali juga menuliskan kitab berjudul Mizan Al-A’mal. Sebuah kitab yang ditulis Imam Al-Ghozali ketika belum genap berusia 18 tahun, dan kitab ini juga mengajak pembacanya untuk memahami sebuah konsep dan ide dengan terlebih dahulu bertanya. Kitab ini merupakan karya Al-Ghozali di bidang teologi, dan merupakan tanda bahwa Al-Ghozali merupakan seorang yang skeptis.

Kemudian menginjak masa mudanya, tepat usia 18 tahun Al-Ghozali pergi ke Naisabur, salah satu kota besar di Provinsi Khurosan yang dekat dengan Kota Thus ke arah barat. Akan tetapi Naisabur sudah tidak begitu ramai karena sudah ditinggalkan oleh para ulamanya seperti Imam Al-Qusyairi yang sudah meninggal dan Al-Harawi yang pindah ke Herat. Walaupun sudah tidak begitu ramai, Al-Ghozali masih menemukan sosok ulama besar di Naisabur. Beliau adalah Abul Ma’ali Al-Juwaini atau Imam Al Haramain, ulama besar dalam sejarah pemikiran islam.

Pada Zamannya, Imam Al Haramain merupakan seorang ahli fiqih dan ushul fiqih serta teolog muslim yang sering membahas persoalan teologis secara mendalam. Pertemuan dengan guru yang begitu hebat ini menjadikan kecerdasan Al-Ghozali semakin terasah. Bersama Imam Al Haramain Al-Ghozali mendapati bahwa kelebihan yang ada pada dirinya berada di pemikiran dan rasionalitasnya. Hal ini terbukti dengan karya yang dihasilkan oleh Al-Ghozali.

Selama kurang dari tujuh tahun belajar dengan Imam Al Haramain, Al-Ghozali sukses menulis tiga karya besar yaitu Maqashid Al-Falasifah, Fadha’ih Al-Bathiniyyah, dan Al-Mustasfha. Bahkan karya ini menjadikan Sang Guru menjuluki Al-Ghozali seperti samudera luas yang ombaknya besar hingga dapat menenggelamkan sesuatu di atasnya. Di sisi lain Imam Al Haramain juga pernah mengatakan kepada Al-Ghozali dengan sedikit nada candaan: “Engkau telah menguburku dengan karya-karyamu, tidakkah engkau bersabar sejenak hingga aku mati, baru engkau menuliskan ide-idemu?”.

Imam Al Haramain meninggal pada tahun 1085 M saat Al-Ghozali berusia dua puluh tujuh tahun, berangkatlah Al-Ghozali ke perkemahan Wazir Nidzamul Malik. Majelisnya merupakan tempat berkumpul para ahli ilmu, kemudian beliau menantang debat para ulama dan mengalahkan mereka dengan bekal ilmu yang didapatkannya sejak berguru kepada Syaikh Ahmad bin Muhammad Ar Radzakani hingga Imam Al Haramain. Al-Ghozali pun diakui kehebatannya oleh para ulama dan mampu memincut perhatian Sang Wazir

Kemudian Nidzamul Malik mengangkatnya menjadi pengajar di madrasahnya di Baghdad dan memerintahkan untuk berpindah kesana. Maka pada tahun 1091 M beliau berangkat ke Baghdad dan mengajar di Madrasah An Nidzamiyah dalam usia tiga puluhan tiga tahun. Disinilah beliau berkembang dan menjadi terkenal hingga mencapai kedudukan yang sangat tinggi dan menjabat sebagai Naib Konselor Madrasah An Nidzamiyah diakhir masa mudanya, yaitu hampir menginjak usia empat puluh tahun.

Pembahasan ini terkait masa muda Al-Ghozali, ada beberapa hal yang dilakukan nabi dalam memanfaatkan masa mudanya. Pertama, belajar tiada henti kepada siapapun, kapanpun dan dimanapun. Kedua, mempelajari semua disiplin ilmu baik fiqih, logika, teologi, filsafat, kalam, mantiq dan lain-lain. Ketiga, aktif berkarya melalui tulisan-tulisannya meskipun Al-Ghozali sudah berada pada kedudukan yang sangat tinggi. Tercatat sudah ada 457 judul buku atau kitab karya Al-Ghozali menurut Abdurrahman Badawi dalam bukunya Muallafah Al-Ghozali.

Dari pembahasan ini tentu diharapkan pemuda muslim zaman sekarang mampu meneladani sosok Al-Ghozali dengan menjadi intelektual multidisiplin ilmu yang aktif berkarya.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama