Produksi kasus kekerasan seksual di Indonesia tiap tahunnya selalu mengalami peningkatan yang secara kuantitas tergolong besar. Ditegaskan dalam Catatan Tahunan (CATAHU) Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), tahun 2018 jumlah kasus yang dilaporkan meningkat sebesar 14%. Jumlah kasus Kekerasan Terhadap Perempuan (KTP) 2019 sebesar 406.178, jumlah ini meningkat dibandingkan dengan tahun sebelumnya sebesar 348.466. Kategori dan jenis kekerasan seksual cukup variatif, yang kemudian di analisis dalam bentuk prosentase, KDRT/ Ranah Personal (RP) menempati prosesntse tertingi yakni 71% dari jumlah kekerasan seksual yang ada. Kemudian setelah KDRT disusul dengan kekerasan di ranah publik persentase 28% dan terakhir adalah KtP di ranah negara dengan persentase 0.1%. Pada ranah KDRT/RP kekerasan yang paling menonjol adalah kekerasan fisik 3.927 kasus (41%), menempati peringkat pertama disusul kekerasan seksual sebanyak 2.988 kasus (31%), psikis 1.658 (17%) dan ekonomi 1.064 kasus (11%). Dari data tersebut, mengkhawatirkan ketika mengetahui bahwa kekerasan seksual ternyata sudah merajalela berkembang di ruang manapun dan tanpa sadar siapapun dapat berpeluang menjadi korbannya.
Komnas Perempuan dan Forum Pengada
Layanan (FPL) pada tanggal 23 Agustus 2016, secara resmi menyerahkan Naskah
Akademik dan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang penghapusan Kekerasan
Seksual (PKS) kepada Ketua Komite III Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI. Usulan
tersebut sudah ditandatangani 70 anggota DPR sehingga menjadi usul inisiatif
dari DPR. Tindak lanjut usulan ini ditandai dengan dikirimkannya Rancangan
Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual yang telah menjadi usulan DPR
dengan beberapa perubahan kepada pemerintah pada 6 April 2017 melalui surat
dengan nomor LG/06211/DPR RI/IV/2017. Hingga saat ini draft pembahasan RUU ini
telah menjadi agenda prioritas ke 6 dalam prolegnas DPR.
Kekerasan seksual telah menjadi
permasalahan bersama khususnya kaum perempuan yang banyak diantaranya jadi
objek atas kekerasan seksual ini, sejumah usaha
dari pemerintah untuk meyelesaikan kekerasan seksual ini belum
terakomodir baik dalam undang- undang UU PKDRT, UU PTPPO, UU Perlindungan Anak,
Pengadilan HAM, hingga KUHP bahwa ternyata secara keseluruhan undang- undang
tersesebut hanya sampai mengatur kekerasan seksual dalam ruang lingkup khusus.
Seperti usia anak, hingga syarat syarat rumit bagi korban untuk dapat
menjatuhkan pidana pada pelaku kekerasan seksual. Padahal melihat realitas yang
ada jenis kekerasan seksual sudah berkembang jauh lebih luas dengan bercam-
macam tindak kekerasan seksual, ruang- ruang yang memungkinkan dapat terjadi
kekerasan seksual juga sangat sulit teridentifikais, hingga seorang pelaku yang
juga sangat sulit diindikasi sebelumnya.
Selain itu permasalahan
structuktural yang dianggap terlalu birokratis dengan segala macam unit dan
prosedur yang belum tersedia di semua tingakat penyelenggaraan hukum serta
fasilitas dan prespektif pendangan belum mendukung penuh korban. Kemudian
secara kultur dan budaya hukum, banyak diantara aparatur penengak hukum masih
terjebak dogma moralitas dan cara pandang masyarakat tentang kesusialaan yang
dibawa dalam menyikapi kasus, aparat dan penegak hukum jarang menunjukkan
sikapnya yang objektif pada korban kekerasan seksual. Akibatnya banyak koban
yang melapor merasa tersudutkan atas pertanyaan- pertanyaan yang sangat tidak
objektif, seperti halnya apa pakaian yang saat itu korban kenakan, kemudian bersama
siapa dan bagaimana ekspresi korban saat sbelum kejadian itu, apakah korban
ikut menikmati dan lain sebagainya. Pertanyaan- pertannya tersebut menunjukkan
bentuk penghakiman terhadap korban yang tidak jarang dilakukan kembali oleh
aparat penegak hukum. Kemudian permasalahan lain yang sering muncul adalah
beban yang dijatuhkan pada korban untuk menyediakan saksi saat melapor, hingga
intervensi yang bisa ia terima kapan saja dari pelaku, belum lagi upaya balas
dendam dari para pelaku dengan pesanan pasal- pasal dan praktik suap untuk
melepaskannya dari jeratan hukumannya. Jelas semua itu memberatkan bagi korban
untuk dapat mempercayakan kasusnya pada lembaga dan aparat penegak hukum.
Atas beberapa masalah diatas
kemudian sekitar tahun 2016 muncul Rancangan Undang- undang Penghapusan
Kekekrasan Seksual (RUU P-KS) merupakan pembaharuan hukum yang didesain untuk
menangani tiap permasalah kekerasan seksual
yang ada di Indonesia. Sesuai dengan analisis secara sosiologis,
yuridis, serta filosofi tentang keaadaan dan kebutuhan yang ada, maka dalam RUU
P-KS akan mengatur secara lebih terperinci mengenai penyelesaian kekerasan
seksual. Yakni diantaranya pencegahan, menindak pelaku, melindui korban dan
melakukan pemulihan pada korban.
Dari landasan filosofis yaitu
lunturnya pembukaan UUD 1945 alenia ke 4 dengan bunyi melindungi segenap bangsa
dan seluruh tumpah darah indonseia
dimana kekerasan seksual termasuk Pelanggaran HAM yang HAM sendiri
diatur dalam pasal 28 A-J dimana dari situ pemerintah berkewajiban untuk
melindungi perempuan dan mengungkap kebenaran, keadilan , pemulihan menjamin
peningkatan derajat kemanusiaan. Landasan sosiologis, yang diusulkan oleh
komnas perempuan yaitu berdasarkan budaya Patiarki tentang ketidaksetaraan
gender, selain itu juga karena wadah yang yang menangani tentang kekerasan
seksusal dinilai masih kurang menjamin dan saat ini yang sudah ada hanya UU
KDRT dan KUHP dimana masih ada ketimpangan relasi kuasa. oleh karena itu di RUU
PKS ini nanti tidak hanya mengatur tentang penindakan terhadap pelaku tetapi
juga terdapat pencegahan, penanganan,perlindungan, pemulihan korban dan juga
penindakan terhadap pelaku. selanjutnya secara yuridis kasus kekerasan seksual
lebih hanya terjerat dalam UU ITE No. 19 tahun 2016 kemudian UU perlindungaan
anak no. 35 tahun 2014, UU penghapusan KDRT 23 tahun 2004 dan KUHP tentang
pemerkosaan dan pencabulan.
Kemudian berkali- kali realitas yang
ada menunjukan bahwa setelah menjali proses perjalanan yang begitu panjang, RUU
P-KS mengalami kemandegan dari mulai pengangkatan menjadi Program legislasi
nasional (Prolegnas), hingga pembahasan yang tidak menjumpai kesudahan.
Perjalanan RUU P-KS dalam Proses Legislasi
Sejak tahun 2016 RUU
P-KS sudah masuk dalam tahap harmonisasi, rapat Badan Legalisasi RUU P-KS membahas
tentang pengharmonisasian, pembulatan dan pemantaban konsepsi mengenai teknis
RUU hingga subtansi dasar RUU P-KS. Setelah melewati 5 kali rapat harmonisasi oleh badan legislasi, RUU P-KS
resmi masuk dalam tahap pembahasan sebelum masuk prolegnas dengan pembicaraan
tingkat I yang diawali oleh pendangan pemerintah kemudian RDPU (Rapat Dengar
Pendapat Umum) bersama jaringan masyarakat daerah yang hingga pada tanggal 03
Oktober 2018 RUU Usulan DPR ini masuk dalam Prolegnas dengan agenda RPDPU Oanja
Komisi VIII DPR RI mengenai RUU P-KS bersama forum keagamaan serta Kongres
Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) untuk memberikan pendangan- pandangannya,
memberikan masukan subtansi yang lebih rinci sesuai dengan draft RUU agar tetap
menjadi acuan rasional yang sesuai dengan pancasila.
Kemudian dalam pembahasan
selanjutnya RUU P-KS masih dalam pembicaraan tingkat I hingga bulan juli 2019
RDPU bersama jaringan masyarakat atau studi banding ke daerah mendapati
kesimpulan atau keputusan sebagaimana berikut :
1.
Panja Komisi VIII DPR RI RUU P-KS dan Panja
menyepakati bahwa rapat panja tidak langsung membahas DIM RUU tetapi
meneyapakati masalah kursial sebagaiaman judul RUU, definisi dan jenis
kekerasan seksual untuk dibuat rumusan baru oleh tim teknis dengan mempertimbangkan
masukan dan pendangan dari berbagai pihak, yang selanjutnya akana menjadi bahan
dalam pembahasan DIM RUU dalam rapat panja selanjutnya.
2.
Menyepakati rapat panja selanjutnya langsung
membahas DIM RUU terkait substansi kursia dalam waktu yang secepatnya.
Perjalanan pembahasan
RUU P-KS dalam panja sebelum masa bakti DPR RI berakhir, resmi tertutup pada Rapat Dengar Pendapat tanggal
03 september 2019 dengan pembahasan akhir mengenai DIM RUU PKS yang dihadiri
oleh 20 anggota panja komisi VIII DPR RI serta penja pemerintah.
Berikut contoh kasus kekerasan seksual yang belum terakomodir baik oleh regulasi yang sudah ada :
Kasus 1 :
Seorang korban dengan
inisial NA datang ke kantor Komnas Perempuan pada Mei 2018 dalam keadaan
tertekan dan cemas. Ketika menceritakan soal kejadian korban merinding dan
matanya basah. Korban mengalami kekerasan dalam rumah tangga dalam empat
bentuk: seksual (perkosaan dalam perkawinan), ekonomi (suami tidak memberi
nafkah), psikologis (korban dikucilkan dari pergaulan) dan fisik (ancaman
pembunuhan berkali-kali). Korban menikah dengan pelaku empat tahun yang lalu
dan dikaruniai satu anak laki-laki. Sejak baru menikah, korban menuturkan
pernah dilempar belati oleh pelaku saat pelaku marah. Korban yang disuruh minum
baygon agar meninggal karena dianggap mempermalukan keluarga besar pelaku. Kekerasan berlanjut karena pelaku melarang
korban bekerja tetapi di satu sisi pelaku tidak bekerja dan tidak menafkahi
korban secara ekonomi. Korban kebingungan sampai akhirnya pelaku mengijinkan korban
bekerja jaga toko asal korban membawa anaknya. Ketika itu pula pelaku tidak
memberikan uang dan malah memanfaatkan korban untuk membiayainya. Pelaku sering
sekali marah dan menghina korban karena masalah-masalah kecil. Pelaku melakukan
kekerasan verbal dengan berkata "Lihat tuh tete kamu udah peyot" dan
"Istri gak bener, gak guna". Pelaku juga melakukan kekerasan terhadap
anak pelaku dan korban seperti dipukul bagian kepala dan dijitak dengan cincin
sampai benjol. Hal yang membuat korban tertekan dan trauma adalah tindakan
perkosaan dalam rumah tangga. Pelaku memaksa korban berhubungan seksual sodomi
hingga korban ambeien dan pendarahan. Pelaku tidak peduli dan terus melakukan
berkali-kali. Korban merinding dan merasa jijik saat menceritakan hal ini.
Hasil Analisa :
Dalam
RUU PKS Perkosaan dalam Lingkup Rumah Tangga merupakan delik Aduan dan memenuhi
unsur Perkosaan. Sebelum adanya regulasi yang mengatur
seringkali perempuan yang dijadikan penanggung jawab atas tiap kondisi rumah
tangga, alih alih mendapat keadilan setelah mendapati kekerasan pada dirinya
yang dilakukan oleh keluarga atau suami, perempuan justru sering disalahkan
karena dianggap tidak dapat menjaga keharmonisan dalam rumah tangga termasuk
dalam kasus ini adalah menyenangkan suami. Jika sering kali kekerasan seksual ini dihadapkan dengan norma- norma
yang sebenarnya menjustifikasi keadilan perempuan maka, jika dipahami bersama
Tentang aturan dalam norma agama khusunya islam sudah banyak diatur sedemikian
rupa tentang adab menggauli istri, kemudian bagaimana cara memperlakukan
kesetraan dalam istri yang salah satunya telah dijelaskan dalam bentuk buku qiroah mubadalah karya
Faqihudin Abdul Kadir mengenai kesetaraan dalam hubungan, hingga kemudian akan
menjadi jawaban saat ditemui kasus kekrasan seksual yang berangkat dari adanya
sebuah ketidak setaraan. Secara hukum
Negara Perkosaan dalam Rumah Tangga sudah
selayaknya di
atur dengan jelas untuk mengakomodir tiap tindak
kejahatan kekerasan seksual, layaknya dalam UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga
Pemerkosaan dalam perkawinan (maritel
rape) merupakan tindak pidana yang dilakukan pelaku memenuhi hasrat
seksualnya melalui pemaksaan atau memanfaatkan ketidak berdayaan korban dalam
menyanggupi sesuatu.
Atas kasus seperti yang demikian yang kemudian membutuhakan UU P-KS
hadir untuk melindungi harkat dan martabat tiap manusia, termasuk manusia yang
sudah menjadi istri atas suaminya. Anak atas orang tuanya, wanita atas laki-
laki. Dan semua korban atas pelaku kekerasan seksual.
Kasus II
Korban berinsial
NSPA berusia 28 tahun. Awalnya
korban mengadukan atas kasus kekerasan dalam rumah tangganya. tetapi sebelum mengalami kekerasan dalam rumah
tangga. korban sebelumnya mengalami kekerasan seksual dalam pacaran (KdP) yang
menyebabkan korban hamil. tetapi pelaku tidak mau menikahi dan meminta korban
agar menggugurkan kandungannya. pelaku memaksa korban untuk meminum arak, jamu-
jamu, obat tetapi tidak kandungan korban tetap tidak bisa digugurkan, kemudian
kehamilan korban diketahui oleh keluarga besar korban dan pelaku, kemudian
korban dan pelaku dinikahkan. selama menikah korban mengalami kekerasan psikis
seperti pelaku memiliki perempuan lain dan penelantaran. saat usia anak pertama
berusia 5 bulan korban kemudian hamil lagi dan pelakupun memaksa korban untuk
menggugurkan kandungannya dengan meminum jamu, jus nanas dicampur lada, sate
kuda dan makan durian tetapi kandungan itupun tetap masih bertahan. semua biaya
kelahiran anak pertama ditanggung oleh korban dengan cara berhutang dan
kelahiran anak korban yang kedua dibiayai oleh keluarga korban. pelaku bahkan
mengaku kepada korban telah menikah sirri dengan perempuan lain. saat ini pelaku mengajukan gugatan percerian
di PA Semarang dengan mengoibkan/menghilangkan alamat korban. (LRC-KJHAM).
Hasil Analisa :
Kekerasan Seksual yang dilakukan dalam bentuk memaksa orang lain untuk melakukan aborsi dengan kekerasan, ancaman kekerasan, tipu muslihat, rangkaian kebohongan, penyalahgunaan kekuasaan, atau menggunakan kondisi seseorang yang tidak mampu memberikan persetujuan (Pasal 11 ayat (2) huruf d). Jika sebelumnya regulasi hanya di buat untuk larangan aborsi yang diatur dalam 346-350 KUHP. UU Kesehatan “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). (Pasal 194 UU No.36/2009). Maka RUU PKS ini jawaban atas tindak kekerasan seksual secara spesifik yang memaksa korban baik dengan keadaan sadar/ tidak sadar untuk melakukan aborsi.
Kekhususan RUU P-KS
- RUU P-KS mengatur secara lebih rinci mengenai pendefinisian, unsur serta macam- macam tindak kekerasan seksual (pasal 11), dari 15 jenis kekerasan seksual yang sudah diajukan dalam draf sebelumnya, kemudian terseleksi oleh DIM merujuk hingga muncul 9 macan tindak kekerasan seksual sepeti diatas yang harapannya dapat mengakomodir tiap jenis kekerasan seksual yang akan muncul; Pelecehan Seksual, Eksploitas Seksual, Pemaksaan Kontrasepsi, Pemaksaan Aborsi; Perkosaan Pemaksaan Perkawinan; Pemaksaan Pelacuran; Perbudakan Seksual; Penyiksaan Seksual
- RUU P-KS merupakan aturan hukum khusus (Lex Specialist) dari KUHP. RUU PKS mengatur tindak pidana kekerasan seksual secara lebih rinci yang sebelumnya belum diatur dalam KUHP. Selein itu RUU P-KS ini merumuskan beberapa jenis pemindanaan yakni hukuman pidana pokok dan tambahan yang jenisnya berbeda dengan KUHP. RUU Penghapusan Kekerasan Seksual tidak merumuskan denda sebagai ancaman pidana karena denda akan masuk ke kas negara namun tidak berkorelasi dengan penyediaan penggantian kerugian bagi korban. RUU Penghapusan Kekerasan Seksual memperkenalkan rehabilitasi khusus bagi pelaku tindak pidana kekerasan seksual tertentu. RUU Penghapusan Kekerasan Seksual juga merumuskan sejumlah ancaman pidana tambahan yang dijatuhkan sesuai perbuatan yang dilakukan, seperti ancaman pidana tambahan perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana, kerja sosial, pembinaan khusus, pencabutan hak asuh, pencabutan hak politik, pencabutan hak menjalankan pekerjaan tertentu, pencabutan jabatan atau profesi dan pengumuman putusan hakim
- RUU P-KS menangani kekerasan seksual bedasar perspektif korban. Dalam draf RUU P-KS telah dirumuskan bahwa RUU P-KS memiliki ruang lingkup lengkap dan penanganan yang komperhensif dalam menangani tiap kasusu kekeraan seksual.
- Menjauhkan korban dari tindakan victimisasi
- RUU P-KS dapat menciptakan masyarakat yang berkeadilan dengan memegang prinsip kesetaraan.
- Adanya pengaturan hukum mengenai korporasi, dalam tindak pidana kekerasan seksual yang dilakukan oleh korporasi atau korporasi terlibat dalam kegiatan kekeraan, maka hukum tidak akan tebang pilih dengan penyidikan, penuntutan, dan pemindanaan dilakukan terhadao korporasi dan/ atau pengurusnya.
- Aturan penjatuhan hukum pidana terdiri atas pidana pokok dan pidana tambahan.
PERNYATAAN SIKAP
Bedasarkan analisa mendalam sebelumnya mengenai kehadiran RUU P-KS, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Al- Ghozali Semarang menggaris bawahi beberapa point yang perlu untuk diperhatikan kaitannaya dengan mengkawal kasus penghapusan kekerasan seksual, Pertama, atas data dari catatan tahunan komnas perempuan per 2019 peningkatan kasus kekerasan seksual yang meningkat sebanyak 14 % daripada tahun sebelumnya, dengan kompleksitas jenis dan macamnya dianggap perlu meregulasi secara lebih jelas dan tegas tindakan- tindakan kekerasan seksual dengan produk hukum yang lebih spesifik yang concern terhadap masalah yang ada. Kedua, paradigma mengenai kekraan seksual yang dibenturkan dengan dogma moralitas, nilai serta norma yang ada perlu segra diluruskan, bahwa tindakan kekerasan seksual ini berpeluang dialami oleh siapun dan dalam kondisi bagaimnapun, sehingga perlu sekiranya lebih menjunjung tinggi prinsip keadilan dan objektifitas dalam menangani perkara kekeran seksual. Ketiga lingkungan keluarga, sosial masyarakaat menjadi kunci harmonisasi iklim bebas kekrasan seksual dengan upaya pencegahan.
Oleh karena itu, PMII Al- Ghozali Semarang mengajak kepada segenap kader dan masyarakat serta seluruh aktivis perempuan yang memliki kepedulian terhadap keadilan bagi korban kekerasan seksual yang kian hari kondisinya mengkhawatirkan akibat paying hukum yang ada belum sepenuhnya dapat mengakomodir kasus yang ada. Maka bedasarkan pertimbangan diatas PMII Al- Ghozali Semarang menyatakan sikap :
1. Mengecam segala tindakan kekerasan seksual yang terjadi, baik dalam ligkup keluarga, ranah public dan pemerintahan.
2. Mendukung segala bentuk upaya pencegahan dan penyelesaian setiap kasus-kasus kekerasan seksual.
3. Mengajak seluruh elemen mahasiswa dan masyarakat untuk membuka ruang diskusi dan ikut peduli terhadap kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi.
4. Mengkawal RUU P-KS agar masuk kembali dalam prolegnas prioritas dalam masa bakti DPR RI (priode 2019-2024) Mendesak DPR RI untuk segera melaksanakan pembahasan dan mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
TTD
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia
Komisariat Al-Ghozali
Tags:
Rilis