Gus Mus dan Dakwah Multikulturalnya

Oleh Baeti Rohmah (Ketua Rayon Pancasila, PMII Komisariat Al-Ghozali Semarang) pada Jumat  – 14:23 WIB


"Islam sebagai agama kasih sayang dan Indonesia adalah sebagai rumah kita bersama harus dijaga dan dirawat sebagaimana para pejuang mengorbankan semua baik harta, nyawa dan keluarga begitu juga islam sebagai bergerak, sumber inspirasi bagi kehidupan bernegara”.-Ahmad Musthofa Bisri
K.H. A. Mustofa Bisri atau akrab disapa Gus Mus merupakan putra dari pasangan K.H. Bisri bin H. Zaenal Musthofa dan Hj. Marufah binti K.H. Cholil Harun yang lahir di Rembang pada 10 Agustus 1944. Alumnus dan penerima beasiswa dari Universitas Al Azhar Cairo (Mesir, 1964-1970) untuk studi islam dan bahasa arab ini, sebelumnya menempuh pendidikan di Sekolah Rakyat selama 6 tahun (Rembang, 1950-1956). Pada saat menempuh pendidikan SR, beliau setiap sore menempuh pendidikan agama islam di Madrasah Diniyah Nawawiyah (Rembang). Teman satu kamar K.H. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur ini kemudian melanjutkan pendidikan di Pondok Pesantren Lirboyo (Kediri, 1956-1958), Pondok Pesantren Krapyak (Yogyakarta, 1958-1962), dan Pondok Pesantren Taman Pelajar Islam (Rembang, 1962-1964).

Gus Mus mewarisi kepiawaian Ayahnya dalam menulis dan bersastra. Kepiawaiannya dalam bersastra terbukti saat pentas baca puisi pertama yang beliau ikuti pada tahun 1980 menuai banyak pujian, hingga akhirnya sajak-sajak Gus Mus tersebar luas hingga terpampang dalam ruangan kampus Universitas Hamburg Jerman. Sebagai seorang Sastrawan, karya-karya Gus Mus mampu membius masyarakat luas. Termasuk dalam berdakwah, beliau memiliki metode tersendiri yang tidak dilakukan kebanyakan Kiai. Hingga pada akhirnya masyarakat dapat tetarik dengan dakwah yang disampaikan.

Dakwah Multikultural Gus Mus

Multikultural berasal dari kata multi yang berarti beragam dan cultural yang berarti budaya. Sedangkan dakwah berarti proses penyelenggaraan suatu usaha yang dilakukan dengan sadar untuk mempengaruhi orang lain agar timbul dalam dirinya suatu pengamalan ajaran agama tanpa adanya unsur paksaan. Sehingga Dakwah multikultural berarti aktifitas menyeru kepada jalan Allah SWT melalui usaha-usaha mengetahui karakter budaya suatu masyarakat sebagai kunci utama untuk memberikan pemahaman dan mengembangkan dakwah.

Dalam dakwah multikulturalnya Gus Mus mengikuti cara berdakwah Rasullulah. Beliau memiliki pandangan bahwa metode dakwah multikultural berarti dalam berdakwah dapat diterima dengan baik oleh seluruh lapisan masyarakat dari berbagai bidang.

Berdakwah di era saat ini khususnya di Indonesia dengan masyarakat yang tergolong majemuk, Gus Mus menyadari akan pentingnya banyak pendekatan dan pemilihan materi sesuai permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia, termasuk salah satunya adalah dengan menggunakan berbagai media yang dapat digunakan untuk menjangkau berbagai kalangan.

Indonesia dengan berbagai keanekaragaman yang dimiliki membutuhkan dakwah multikultural agar terciptanya kerukunan sehingga masyarakat dapat hidup berdampingan tanpa melihat latar belakang agama, etnis, maupun ideologi. Dari konsep dakwah Gus Mus terdapat hal menarik yang dapat dijadikan bahan renungan bagi semua kalangan yaitu melakukan dialog terbuka bagi seluruh elemen masyarakat dan merumuskan solusi atas persoalan yang dihadapi oleh rakyat. Gus Mus lalu mensosialisasikan hasil tersebut melalui media dakwah seperti buku, lukisan, pusisi, atau media lainnya dengan tidak memosisikan kubu yang berbeda sebagai suatu keyakinan yang salah sehingga tidak perlu dikafirkan atau bahkan “diIslam-kan”.

Gus Mus dalam dakwahnya selalu menekankan pemahaman bahwa tidak ada manusia berakal yang akan menyesatkan dirinya sendiri, bagaimanapun agama, suku, maupun ideologinya akan menambah kedewasaan dalam memahami kebenaran sehingga tidak mudah memvonis kelompok berbeda sebagai kelompok sesat, kafir atau semacamnya. Dalam hal ini, Gus Mus sangat yakin bahwa islam adalah keyakinan yang menebar kasih sayang, toleran dan menghargai perbedaan.

"Islam sebagai agama kasih sayang dan Indonesia adalah sebagai rumah kita bersama harus dijaga dan dirawat sebagaimana para pejuang mengorbankan semua baik harta, nyawa dan keluarga begitu juga islam sebagai bergerak, sumber inspirasi bagi kehidupan bernegara”.-Ahmad Musthofa Bisri.

Gus Mus dalam dakwahnya juga seringkali menyampaikan bahwa Indonesia dan berbagai nilai-nilai islam yang dimiliki merupakan suatu hal yang saling berkaitan, bukan dua hal yang saling menolak hingga akhirnya terdapat salah satu (yang atas nama kekalahan) harus masuk, melebur, dan hilang kendalinya. Oleh karena itu, keinginan sekelompok orang yang menghendaki berdirinya negara islam di Indonesia sebemarnya tidaklah diperlukan karena nilai-nilai islam sejatinya dapat terealisasikan di Indonesia tanpa keharusan akan sistem baru yang biasa dikenal dengan sistem islami, khilafah atau sistem-sistem lainnya.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama