Oleh Miftach Asror (CEO Al-Ghozali Center, PMII Komisariat Al-Ghozali Semarang) pada Minggu – 22:43 WIB
Kata “toleransi” mengakar dari Bahasa latin “tolera” yakni bertahan atau memikul. Toleransi di sini diartikan untuk saling memikul, walaupun pekerjaan yang dilakukan tidak sependapat—atau memberikan ruang bagi pihak lain yang berpendapat berbeda. Dengan demikian, toleransi merujuk pada suatu kerelaan utuk menerima kenyataan adanya orang lain yang berbeda. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), toleransi berarti bersifat atau bersikap menghargai, membiarkan, memperbolehkan pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan) yang berbeda atau bertentangan dengan sendiri.
Di Indoensia toleransi merupakan nilai atau tradisi yang penting dan mampu menjadikan masyarakat Indonesia majemuk. Tanpa toleransi, masyarakat terperosok ke dalam kubangan konflik yang destruktif, saling bermusuhan, penuh arogansi, dan tidak stabil. Berkat toleransi, perbedaan menjadi kekuatan dan bisa mentransformasikan keragaman menjadi keharmonisan. Melalui toleransi, sebuah masyarakat yang plural akan bergerak maju, dinamis tanpa permusuhan. Sejatinya toleransi adalah ajaran semua agama dan semua budaya.
Ketika kita berbicara tentang toleransi, pasti tidak jauh dari padangan-pandangan KH. Abdurahman Wahid atau biasa di panggil Gus Dur. Beliau telah dikenal sebagai bapak perdamaian dan toleransi. Selain itu, Gus Dur juga dipandang sebagai sosok ulama, pemikir islam kotemporer dan tokoh bangsa yang sangat toleran.
Pandangan Gus Dur dalam mengajarkan toleransi berbeda dengan tokoh-tokoh secara umumnya dalam mengajarkan toleransi. Kebanyakan orang hanya mengajarkan dan membudayakan toleransi sebatas pada hidup berdampingkan dan secara damai—hidup bersama dalam suasana saling menghormati dan menghargai. Sementara itu, Gus Dur berpandangan bahwa toleransi tidak hanya sampai di sana.
Dalam pandagan beliau, pluralisme berarti adanya kesadaran untuk saling mengenal dan berdialog secara tulus, sehingga antara kelompok satu dengan kelompok lain bisa saling menerima dan memberi. Toleransi yang diajarkan Gus Dur tidak hanya menghormati dan mengahrgai kelompok beragama, melainkan juga adanya sikap untuk saling menerima ajaran-ajaran yang baik dari agama atau kepercayaan lain, sebagaimana diungkapkan Gus Dur dalam buku Intelektual di Tengah Eksklusivisme.
Ini penting dilakukan—meskipun kesedian untuk menerima kebenaran agama lain sangatlah sulit untuk diterapkan, apalagi oleh kaum salafisme yang hanya terpaku pada teks tanpa memperhatikan nilai-nilai kemanusian. Dalam buku yang ditulis Nur Kholik Ridwan dengan judul Ajaran-ajaran Gus Dur, Gus Dur sangat getol membicarakan kemanusian karena menurutnya kemanusian bersumber dari ketahuidan. Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang paling mulia. Mereka dipercaya untuk mengelola dan memakmurkan bumi. Kemanusiaan merupakan cerminan dari sifat-sifat ketuhanan. Oleh karena itu, memuliakan manusia berarti memuliakan penciptanya. Demikian juga merendahkan dan menistakan manusia berarti merendahkan Tuhan Sang Pencipta. Dengan ini, Gus Dur membela kemanusian tanpa syarat apapun.
Dengan demikian, adanya kesediaan untuk menerima kebenaran dari agama lain merupakan sebuah penerimaan bahwa memang ada kebenaran di luar agama yang dianut. Level beragama seperti ini hanya bisa dilakukan oleh orang yang benar-benar menghayati, memahami dengan tulus ajaran-ajaran agamanya. Hal ini diterapkan Gus Dur dalam kehidupanya, ketika Gus Dur menjadi anggota masyarakat epistemik agama Yahudi. Bagi Gus Dur, mereka yang menganut agama samawi keturunan Nabi Ibrahim adalah bersaudara. Perihal ini sesuai dengan rukun iman dalam Islam yang mengakui kitab-kitab Allah dari Taurat, Zabur, Injil sampai Alquran.
Gus Dur juga merintis dan menerapkan dalam politk toleransi di eranya, seperti halnya diakuinya kebudayaan Tionghoa sebagai bagian kebudayan Indonesia. Tak ada lagi dikotomi di kalangan masyarakat Tionghoa di Indonesia mengenai pilihan antara mengambil pendekatan asimilasi atau integrasi seperti pada era Presiden Soekarno. Berbagai aksara Cina, yang pada era Presiden Soeharto amat ditabukan kecuali untuk surat kabar Indonesia beraksara Cina, tidak mengalami penghitaman kembali oleh Kejaksaan Agung. Pertunjukan barongsai yang dulu dilarang, pada era Gus Dur juga diperbolehkan dan kelompok kesenian ini pun tumbuh bak jamur di musim hujan.
Agama Konghucu juga berkembang tanpa kekangan. Kebijakan untuk menghapus Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) bagi orang Indonesia keturunan Tionghoa juga mulai dirintis sejak era Gus Dur. Tak ada lagi sekat-sekat hukum antara pribumi dan nonpribumi , bahkan Gus Dur mengaku, entah benar atau tidak, bahwa ada nenek moyangnya yang berasal dari Cina. Beliau juga melindungi kaum minoritas yang menganut agama atau kepercayaan di luar kelompok aliran utama agama-agama besar.
Tak hanya itu, Gus Dur juga menjadikan tahun baru imlek sebagai hari libur, yang mana pada saat itu sempat dilarang dan dibatasi pada masa orde baru karena berdasarkan Inpres (Intruksi Presiden) No. 14 Tahun 1967. Bunyinya: “ Manifestasinya dapat menimbulkan pengaruh psikologi, metal dan moril yang kurang wajar terhadap warga negara Indonesia sehingga merupakan hambatan terhadap proses asimilasi”. Oleh karena itu di era kepresidenan Gus Dur mencabut Inpres dan mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) No. 6 Tahun 2000, bersamaan dengan pemberlakuan Imlek sebagai hari libur bagi yang merayakan.
Hal-hal ini hanyalah beberapa studi kasus politik toleransi ala Gus Dur yang penulis sampaikan, karena masih banyak lagi politik toleransi yang telah dilakukan Gus Dur layaknya penanganan konflik papua, pengahpusan diskriminasi terhadap PKI dengan mengusulkan pencabutan Ketetapan MPRS No.25 tahun 1966, dan lain sebagainya. Kini dalam perpolitikan di Indonesia, sangat jarang sekali kita menemukan politik toleransi ala beliau. Politik yang lebih mengedepankan kemanusian, keadilan, dan kesejahteraan daripada kepentingan suatu golongan kelompok saja.
![]() |
Source: Islami.co |
Di Indoensia toleransi merupakan nilai atau tradisi yang penting dan mampu menjadikan masyarakat Indonesia majemuk. Tanpa toleransi, masyarakat terperosok ke dalam kubangan konflik yang destruktif, saling bermusuhan, penuh arogansi, dan tidak stabil. Berkat toleransi, perbedaan menjadi kekuatan dan bisa mentransformasikan keragaman menjadi keharmonisan. Melalui toleransi, sebuah masyarakat yang plural akan bergerak maju, dinamis tanpa permusuhan. Sejatinya toleransi adalah ajaran semua agama dan semua budaya.
Ketika kita berbicara tentang toleransi, pasti tidak jauh dari padangan-pandangan KH. Abdurahman Wahid atau biasa di panggil Gus Dur. Beliau telah dikenal sebagai bapak perdamaian dan toleransi. Selain itu, Gus Dur juga dipandang sebagai sosok ulama, pemikir islam kotemporer dan tokoh bangsa yang sangat toleran.
Pandangan Gus Dur dalam mengajarkan toleransi berbeda dengan tokoh-tokoh secara umumnya dalam mengajarkan toleransi. Kebanyakan orang hanya mengajarkan dan membudayakan toleransi sebatas pada hidup berdampingkan dan secara damai—hidup bersama dalam suasana saling menghormati dan menghargai. Sementara itu, Gus Dur berpandangan bahwa toleransi tidak hanya sampai di sana.
Dalam pandagan beliau, pluralisme berarti adanya kesadaran untuk saling mengenal dan berdialog secara tulus, sehingga antara kelompok satu dengan kelompok lain bisa saling menerima dan memberi. Toleransi yang diajarkan Gus Dur tidak hanya menghormati dan mengahrgai kelompok beragama, melainkan juga adanya sikap untuk saling menerima ajaran-ajaran yang baik dari agama atau kepercayaan lain, sebagaimana diungkapkan Gus Dur dalam buku Intelektual di Tengah Eksklusivisme.
Ini penting dilakukan—meskipun kesedian untuk menerima kebenaran agama lain sangatlah sulit untuk diterapkan, apalagi oleh kaum salafisme yang hanya terpaku pada teks tanpa memperhatikan nilai-nilai kemanusian. Dalam buku yang ditulis Nur Kholik Ridwan dengan judul Ajaran-ajaran Gus Dur, Gus Dur sangat getol membicarakan kemanusian karena menurutnya kemanusian bersumber dari ketahuidan. Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang paling mulia. Mereka dipercaya untuk mengelola dan memakmurkan bumi. Kemanusiaan merupakan cerminan dari sifat-sifat ketuhanan. Oleh karena itu, memuliakan manusia berarti memuliakan penciptanya. Demikian juga merendahkan dan menistakan manusia berarti merendahkan Tuhan Sang Pencipta. Dengan ini, Gus Dur membela kemanusian tanpa syarat apapun.
Dengan demikian, adanya kesediaan untuk menerima kebenaran dari agama lain merupakan sebuah penerimaan bahwa memang ada kebenaran di luar agama yang dianut. Level beragama seperti ini hanya bisa dilakukan oleh orang yang benar-benar menghayati, memahami dengan tulus ajaran-ajaran agamanya. Hal ini diterapkan Gus Dur dalam kehidupanya, ketika Gus Dur menjadi anggota masyarakat epistemik agama Yahudi. Bagi Gus Dur, mereka yang menganut agama samawi keturunan Nabi Ibrahim adalah bersaudara. Perihal ini sesuai dengan rukun iman dalam Islam yang mengakui kitab-kitab Allah dari Taurat, Zabur, Injil sampai Alquran.
Gus Dur juga merintis dan menerapkan dalam politk toleransi di eranya, seperti halnya diakuinya kebudayaan Tionghoa sebagai bagian kebudayan Indonesia. Tak ada lagi dikotomi di kalangan masyarakat Tionghoa di Indonesia mengenai pilihan antara mengambil pendekatan asimilasi atau integrasi seperti pada era Presiden Soekarno. Berbagai aksara Cina, yang pada era Presiden Soeharto amat ditabukan kecuali untuk surat kabar Indonesia beraksara Cina, tidak mengalami penghitaman kembali oleh Kejaksaan Agung. Pertunjukan barongsai yang dulu dilarang, pada era Gus Dur juga diperbolehkan dan kelompok kesenian ini pun tumbuh bak jamur di musim hujan.
Agama Konghucu juga berkembang tanpa kekangan. Kebijakan untuk menghapus Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) bagi orang Indonesia keturunan Tionghoa juga mulai dirintis sejak era Gus Dur. Tak ada lagi sekat-sekat hukum antara pribumi dan nonpribumi , bahkan Gus Dur mengaku, entah benar atau tidak, bahwa ada nenek moyangnya yang berasal dari Cina. Beliau juga melindungi kaum minoritas yang menganut agama atau kepercayaan di luar kelompok aliran utama agama-agama besar.
Tak hanya itu, Gus Dur juga menjadikan tahun baru imlek sebagai hari libur, yang mana pada saat itu sempat dilarang dan dibatasi pada masa orde baru karena berdasarkan Inpres (Intruksi Presiden) No. 14 Tahun 1967. Bunyinya: “ Manifestasinya dapat menimbulkan pengaruh psikologi, metal dan moril yang kurang wajar terhadap warga negara Indonesia sehingga merupakan hambatan terhadap proses asimilasi”. Oleh karena itu di era kepresidenan Gus Dur mencabut Inpres dan mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) No. 6 Tahun 2000, bersamaan dengan pemberlakuan Imlek sebagai hari libur bagi yang merayakan.
Hal-hal ini hanyalah beberapa studi kasus politik toleransi ala Gus Dur yang penulis sampaikan, karena masih banyak lagi politik toleransi yang telah dilakukan Gus Dur layaknya penanganan konflik papua, pengahpusan diskriminasi terhadap PKI dengan mengusulkan pencabutan Ketetapan MPRS No.25 tahun 1966, dan lain sebagainya. Kini dalam perpolitikan di Indonesia, sangat jarang sekali kita menemukan politik toleransi ala beliau. Politik yang lebih mengedepankan kemanusian, keadilan, dan kesejahteraan daripada kepentingan suatu golongan kelompok saja.
Tags:
Opini