Oleh Khoir Ulin Nuha (PMII Rayon Garuda, Komisariat Al-Ghozali Semarang) pada Senin – 14:15 WIB
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seoramg laik-laki dan perempuan dan menjadikan kamu berbagsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal" -Qs. Al Hujurat:13-Indonesia merupakan bangsa yang memiliki berbagai keunikan, baik budaya, bahasa, suku, ras, agama, maupun letak geografisnya. Perbedaan tersebut menjadi suatu kelebihan, sehingga Indonesia mampu menjadi negara dengan keragaman terbesar di dunia, terutama dalam segi bahasa. Tidak dapat dimungkiri, keragaman dapat menjadi sebuah kelebihan tersendiri bagi Bangsa Indonesia, akan tetapi dibalik eloknya perbedaan sekaligus juga menjadi ancaman nyata bagi Indonesia. Dampak yang ditimbulkan dari suatu keragaman yaitu, dapat memecah belah suatu bangsa, jika tidak mampu mempertahankan sikap toleransi. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Social Progres Inperative tahun 2014 - 2017 menunjukkan bahwa, tingkat toleransi di Indonesia masih berada jauh dari sempurna dengan skor toleransi sebesar 35,47%, sedangkan tahun 2017 sorotan toleransi dan inklusi (ketercakupan) terdapat dalam faktor opportunity. Pengukuran tersebut, dilakukan dengan menggunakan parameter tingkat deskriminasi terhadap imigran, kekerasan terhadap minoritas, toleransi beragama, jaringan keamanan masyarakat. Skor terendah terdapat pada toleransi beragama dengan jumlah 2,0%. Nilai inilah yang menempatkan Indonesia pada urutan 117 dari 128 negara bertoleransi. Mengejutkan, skor tersebut menjadi bukti bahwa Indonesia merupakan negara rawan konflik dan perpecahan yang mengatas namakan keragaman.
Keadaan tersebut bukan tanpa alasan, mengingat pengalaman pahit Indonesia di jaman orde baru yang menetapkan kebijakan pola pemaksaan kehendak dari pemerintah, untuk membentuk satu kehidupan berbangsa yang seragam, melalui aturan-aturan dalam segala aspek kehidupan. Kebijakan tersebut, mengakibatkan gelombang demokrasi yang tidak hanya membawa dampak positif, tetapi juga dampak negatif, setelah lengsernya orde baru. Dampak negatif dari gelombang demokrasi ini, dapat kita saksikan dalam berbagai modus disorientasi dan dislokasi berbagai kalangan masyarakat kita misalnya, disintegrasi sosial-politik yang bersumber dari euforia kebebasan yang nyaris kebablasan; lenyapnya kesabaran sosial dalam menghadapi realitas kehidupan yang semakin sulit sehingga, dengan vulgar melakukan tindakan yang nyaris minim akan norma, etika, hukum, kesantunan sosial dan toleransi; merosotnya penghargaan akan budaya lain yang akhirnya menyebabkan pola perilaku rasisme dan fanatisme buta; dan berlanjutnya kekerasan serta konflik yang bernuansa etnis, politik, dan budaya seperti yang sempat terjadi beberapa waktu yang lalu.
Tragedi - tragedi tersebut menunjukkan betapa rentannya rasa kebersamaan yang dibangun dalam bingkai bangsa-negara, masih kentalnya prasangka antar kelompok dan rendahnya nilai-nilai multikulturalisme dalam kehidupan masyarakat sosial. Maka dari itu, pendidikan multikulturalisme merupakan salah satu opsi terbaik untuk menjadi jawaban kemajemukan yang ada di Indonesia. Perlu disadari bahwa pendidikan adalah proses pembudayaan dan cita-cita persatuan bangsa yang merupakan unsur budaya nasional. Multikulturalisme sebagai sebuah paham yang menekankan pada kesederajatan dan kesetaraan antar budaya tanpa sedikitpun mengurangi hak dan eksistensi. Jika tidak, peluang kemungkinan terjadi konflik semakin besar akibat tidak adanya rasa saling menghargai terhadap realitas multikultur tersebut.
Pendidikan multikulturalisme merupakan gagasan dimana suatu komunitas dalam konteks kebangsaan mampu mengakui keragaman, perbedaan, dan kemajemukan budaya, ras, suku, etnis, agama, dan lain-lain. Konsep inilah memberikan pengertian bahwa sebuah bangsa plural dan majemuk adalah bangsa yang dipenuhi oleh beragam budaya dimana, kelompok etnik saling menghargai dan menghormati budaya lain, serta mampu hidup secara berdampingan satu sama lain. Mengutip pernyataan dari Prof. Dr. Syafiq A. Mughni M.A. “pendidikan multikulturalisme dapat dirumuskan sebagai wujud kesadaran tentang keanekaragaman kultural, hak-hak asasi manusia serta pengurangan atau penghapusan berbagai jenis prasangka atau prejudice untuk membangun suatu kehidupan masyarakat yang adil dan maju.” Gagasan multikulturalisme inilah yang kemudian dianggap mampu untuk menyelesaikan berbagai problematika vertikal maupun horizontal dalam masyarakat yang heterogen, dimana tuntutan eksistenti dan keunikan budaya lumrah terjadi dan mampu mengakomordir kemajemukan budaya.
Keluarga, Teman, dan Sekolah dalam Membentuk Sikap Toleransi Anak
Mengapa harus keluarga, teman sebaya, dan lingkungan sekolah?, jawabannya adalah lingkungan anak dalam memperoleh proses belajar biasanya didapatkan dari ketiganya. Terutama keluarga, keluarga merupakan tempat pertama kali anak mendapatkan pendidikan. Terdapat suatu ungkapan dalam islam yang mengatakan “ibu merupakan madrasatul ula, para ibu merupakan madrasah pertama bagi anak-anaknya”. Senada dengan ungkapan tersebut, Afred Adler dengan teorinya yang terkenal psikologi individual juga mengatakan bahwa faktor yang mempengaruhi minat sosial seseorang salah satunya adalah hubungan anak orangtua, utamanya dengan ibu. Minat sosial bisa didefinisikan sebagai sikap keterikatan dengan umat manusia secara umum maupun sebagai empati untuk setiap anggota masyarakat. Minat sosial inilah yang kemudian dipandang sebagai ukuran sehat tidaknya individu. Individu akan dinilai sehat apabila mampu mengembangkan minat sosial semakin besar. Sedangkan, secara psikologis individu yang kurang sehat hanya mementingkan diri mereka sendiri, bersikap individualis, dan menjauh dari minat sosial.
Alasan tersebut menjadikan peran pola asuh orang tua terhadap anak menjadi faktor penting, penentu kepribadian anak. Jika dalam segi pola asuh, orang tua tidak mampu bersikap adil memberikan perhatian maupun kasih sayang terhadap anak-anak mereka, maupun terhadap anggota keluarga itu sendiri, dikhawatirkan akan berpengaruh terhadap pola perkembangan minat sosial anak. Anak akan cenderung menjadi individualis dan hanya mementingkan diri mereka sendiri, hal ini akan berpengaruh pada sikap toleran pada anak. Dampak yang ditimbulkan anak akan menjadi acuh dan merasa paling benar. Beberapa kajian tersebut dapat disimpulkan bahwa pendidikan di lingkungan keluarga menjadi faktor penting penentu kepribadian anak. Orang tua dituntut untuk memberikan perhatian dan kasih sayang yang seimbang kepada sesama anggota keluarga, terutama kepada anak, agar mampu mengembangkan minat sosial yang tinggi sehingga, dapat bersikap toleran kepada siapapun.
Kedua, pada segi teman sebaya. Teman sebaya menjadi salah satu faktor utama dalam pembentukan sikap toleransi karena memiliki pengaruh penting dalam pembentukan pribadi anak pada masa remaja. Usia remaja, sering ditandai dengan kecenderungan kebingungan indentitas (identity confusion). Sebagai persiapan ke arah kedewasaan didukung pula oleh kemampuan dan kecakapan- yang dimilikinya. Dia berusaha untuk membentuk dan memperlihatkan identitas yang ia miliki sebagai ciri khasnya. Dorongan pembentukan identitas diri yang kuat di satu pihak, sering diimbangi oleh rasa setia kawan dan toleransi yang besar terhadap kelompok sebaya yang ia miliki. Bentuk toleransi ini sering kali hanya diberikan kepada kelompok teman sebayanya dan tidak diberikan kepada orang diluar komunitas yang dia miliki. Selain krisis identitas, tugas perkembangan lain yang harus dilalui oleh remaja adalah tingkat identitas ego untuk mengetahui siapa dirinya. Jika, identity confusing dan identitas ego tidak mampu berjalan seimbang, kemungkinan yang terjadi, tidak adanya ruang toleransi terhadap masyarakat yang hidup bersama dengan mereka. Erickson menyebutnya sebagai “fanatisme”. Fanatisme ini disebabkan oleh faktor teman sebaya yang membersamai anak. Untuk itu, pendidikan multikultural yang baik perlu diberikan pendidik kepada lingkungan teman sebaya anak agar peluang terciptanya sikap fanatisme terhadap kelompok teman sebaya lain dapat diminimalisir.
Ketiga, lingkungan sekolah. Sekolah termasuk salah satu faktor dalam membentuk pribadi anak yang toleran dikarenakan sebagai rekayasa sosial formal bagi siswa. Sekolah dapat dijadikan anak sebagi ajang bersosialisasi dengan anak lain, tentang keberagaman dan sikap toleransi kepada sesama. Selain itu, sekolah juga dianggap efektif untuk memasukkan nilai kepada siswa yang sedang belajar bermasyarakat. Istilah “praktik sambil belajar toleransi”, merupakan sebutan yang tepat, fungsi sekolah. Praktik sekolah diharapkan mampu memberikan pendidikan multikultural seperti halnya menurut Prof. Dr. Abdul Munir Mukhan “didasari konsep kebermaknaan perbedaan secara unik pada tiap orang dan masyarakat. kelas disusun dengan anggota yang kian kecil hingga tiap peserta didik memperoleh peluang belajar semakin besar sekaligus menumbuhkan kesadaran kolektif di antara peserta didik. Pada tahap lanjut, menumbuhkan kesadaran kolektif melampaui batas teritori kelas, kebangsaan dan nasionalitas, melampaui teritori teologi keagamaan dari tiap agama yang berbeda.” Kegiatan di sekolah tidak hanya menjadi alat sosialisasi atau indoktrinasi guru, tetapi sebagai wahana dialog dan belajar bersama. Menurut perspektif pembelajaran pendidikan multikultural, diharapkan memiliki sasaran yang berkembang dalam diri siswa; Pertama, pengembangan identitas kultural yakni kompetensi yang dimiliki siswa untuk mengidentifikasi dirinya dengan etnis tertentu. Kompetensi ini mencakup pengetahuan, pemahaman dan kesadaran akan kelompok etnis, sehingga menimbulkan kebanggaan sebagai warga etnis tertentu. Kedua, hubungan interpersonal yaitu, kompetensi untuk melakukan hubungan dengan kelompok etnis lain. Senantiasa mendasarkan pada persamaan dan kesetaraan, serta menjauhi sifat syakwasangka dan sterotip. Ketiga, memberdayakan diri sendiri yakni, mampu untuk mengembangkan secara terus menerus yang berkaitan dengan kehidupan multikultural.
Keluarga, teman sebaya, dan sekolah. Mana yang lebih penting?
Keluarga, teman sebaya, dan sekolah. Manakah yang lebih penting dalam pendidikan multikulturalisme? Pertanyaan ini pernah diungkapkan oleh dosen kepada penulis dalam sesi kuliah. Pertanyaan tersebut merupakan refleksi yang akhirnya akan mengakibatkan sebuah perpecahan apabila tidak disikapi dengan pemikiran yang tajam. Terlalu banyak pendapat yang keluar dari pemikiran penulis dan teman-teman, tentunya dilandasi oleh teori yang kuat pula. Kita bisa memaknai sebuah arti toleransi, semua pendapat dari pertanyaan tersebut jika dilandasi dengan teori yang tepat, tentu semua jawaban pasti benar. Hal ini dikarenakan, teori setiap pakarpun juga memiliki perspektif yang berbeda dari teori yang lain. Dasar itu, memberikan sebuah pernyataan penengah yang menganalogikan seperti halnya pertanyaan “Dahulu manakah antara ayam dan telur ?.” Dosen yang melontarkan pertanyaan tersebut menjawab bahwa, ketiganya (keluarga, teman sebaya, dan sekolah) memiliki faktor penting yang mengandung keunikan jika dilihat dari perspektif masing-masing.
Sampai disini dapat disimpulkan bahwa, pertanyaan yang diajukan oleh dosen tergolong pertanyaan refleksi. Lalu apa kelebihan dari setiap faktor itu?. Pertama keluarga, salah satu kelebihannya adalah keluarga sebagai tempat untuk melakukan enkulturasi atau sebuah penanaman nilai pertama kali kepada individu. Penanaman nilai inilah yang menjadi kelebihan yang dimiliki oleh keluarga dan tidak dimiliki oleh faktor lainnya. Maka dari itu, peran keluarga sangat penting untuk berpacu menanamkan nilai toleransi melalui pendidikan multikulturalisme dasar kepada anak. Harapannya, keluarga mampu menjadi role model anak untuk memiliki kepribadian bertoleransi.
Komunitas atau teman sebaya memiliki kelebihan antara lain sebagai support system atau pemberi dukungan kepada individu. Dapat dikatakan bahwa perilaku toleransi individu dipelajari dan dikembangkan dengan support system yang baik dari lingkungan pertemanan sebaya. Selain itu, kesetaraan juga menjadi ciri utama dari faktor teman sebaya. Kesetaraan merupakan suatu hal yang hanya mampu dimiliki oleh teman sebaya. Praktiknya, sekuat apapun orang tua dalam menyampaikan nilai dan memahami anak, tidak sehebat teman sebayanya. Hal ini dikarenakan antara anak dan orang tua baik guru, masyarakat, dan wali, meskipun terlihat akrab dengan anak, seolah-olah masih memiliki sekat. Hal ini disebut dengan hubungan orangtua dengan yang lebih muda. Berbeda dengan keadaan di teman sebaya. Teman sebaya dalam praktiknya mampu menerima individu tanpa adanya rasa canggung atau sungkan terhadap sesuatu. Kesimpulannya adalah pemilihan komunitas pertemanan anak juga berpengaruh terhadap pola perilaku toleransi anak.
Tidak dapat dimungkiri bahwa sekolah menjadi sarana ampuh ketiga media individu dalam mentransfer nilai setelah, lingkungan sekolah dan teman sebaya. Lingkungan sekolah dapat diibaratkan sebagai mangkok yang menampung seluruh nilai dan kemampuan individu. Nilai tersebut, dikembangkan menjadi lebih baik melalui jalur pendidikan yang nantinya akan menghasilkan kemampuan dalam menganalisis sesuatu.
“Tidak seorang pun yang terlahir untuk membenci orang lain karena warna kulit, latar belakang, atau agamanya. Untuk membenci, orang haruslah belajar dan jika mereka dapat belajar untuk membenci,mereka dapat diajarka nuntuk mencintai, karena cinta dating lebih alami kehati manusia daripada kebalikannya.”-Nelson Mandela-
Tags:
Opini