Pentingnya Budaya, Agama, dan Aswaja Membentuk Jati Diri Bangsa untuk Menghadapi Tantangan Zaman

Oleh Ashrofa Wahyu Aiman (PMII Rayon Garuda, Komisariat Al-Ghozali Semarang) pada Minggu – 08:08 WIB


Ilustrasi (Sumber foto : Zaki Alfarabi/detikcom)

Dengan rasa pahit –—meski tanpa kehilangan optimisme—ingin saya tegaskan sekali lagi di sini, justru di masa pasca-Reformasi, sampai hari ini, negeri kita kehilangan kesadaran budaya. Budaya seperti terlindas oleh salah kaprah dalam melihat tujuan pembangunan. Undang-undang kita boleh saja menulis dengan tinta emas bahwa tujuan bangsa, khususnya di bidang pendidikan, adalah melahirkan manusia-manusia seutuhnya. Dalam kenyataannya cara yang ditempuh justru memecah manusia ke dalam jisim tanpa ruh. Serba materialistik. Bukan saja ia telah menelan korban spiritualitas, moralitas, kebenaran, dan rasa keindahan, pun tak ada tujuan ekonomi bisa dicapai jika manusia Indonesia menjadi tuna budaya seperti itu. Dan korban besarnya, itu pun kalau kita asumsikan bahwa tujuan materialistik tercapai, adalah tak kurang dari kebahagiaan manusia itu sendiri” – Haidar Bagir (2017)

Dalam salah satu karyanya, Islam Tuhan Islam Manusia, Haidar Bagir mengingatkan bahaya negeri tuna budaya. Negeri semacam ini, disebutkan rawan didesaki oleh budaya asing yang belum tentu sejalan dengan budaya kita. Dalam sebuah diskusi yang pernah penulis hadiri bertemakan tentang agama dan budaya yang mengingatkan bahwa pentingnya memiliki jati diri untuk mampu bertahan di zaman kacau ini. Jati diri ini bisa didapatkan dengan dekat dan belajar dari para sesepuh-sesepuh, kyai-kyai, yang akrab dengan budaya dan agama. Budaya yang bersinergi dengan agamabegitu pula sebalkinyamampu menjadi pondasi yang kokoh dalam menghadapi berbagai tantangan zaman.

Tak bosan kita mendengar sebuah kalimat dari presiden pertama Republik Indonesia yang mengungkapkan kurang lebih demikian, “kalau jadi hindu jangan jadi orang India, kalau jadi orang islam jangan jadi orang Arab, kalau kristen jangan jadi orang yahudi, tetaplah jadi orang nusantara dengan adat-budaya nusantara yang kaya raya ini”. Hal ini mengingatkan bahwa pentingnya memegang teguh jati diri yang ada dan hidup pada diri kita selama ini.

Secara fisik, agama membawa budaya dari mana agama itu mulanya berkembang, salah satu contohnya adalah penggunaan bahasa. Seperti diingatkan oleh Gus Dur, “Islam datang bukan untuk mengubah budaya leluhur kita jadi budaya arab, bukan untuk “aku” jadi “ana”, “sampean” jadi “antum”, “sedulur” jadi “akhi”, pertahankan apa yang jadi milik kita, kita harus serap ajarannya bukan budaya Arabnya”. Perlu dicermati intinya adalah isi daripada ajaran itu, yaitu kebajikan-kebajikan yang terkandung didalamnya yang perlu dibawa dalam bertutur dan berlaku sehari-hari, bukan budayanya yang boleh jadi sangat berbeda dan tidak cocok ketika diterapkan dengan budaya yang ada di Indonesia dengan keragamannya.

Ketika kita menengeok kebelalakang ke masa permulaan penyebaran Islam di pulau Jawa, maka lekat kaitannya dengan kisah Walisongo. Pada masa itu, disebutkan oleh Agus Sunyoto (2017) dalam bukunya “Atlas Walisongo”, seni pertunjukkan merupakan sarana yang sangat potensial sebagai media berdakwah. Pendekatan-pendekatan melalui seni yang sangat dekat dengan masyarakat pada saat itu ternyata mampu menjadi hal yang efektif dalam penyebaran ajaran agama. Nilai-nilai islam diselipkan pada berbagai elemen dalam kesenian dan itu justru menjadikannya semakin kokoh dan kuat dan menciptakan peradaban yang lebih maju tanpa mencabut masyarakat dari akarnya. Rasa kepemilikan akan budaya membawa agama juga ikut menjadi bagian dari milik mereka.

Kemudian kita berkaca pada era sekarang. Apa sih yang sedang digandrungi oleh masyarakat di era sekarang? Apa yang dekat dengan kehidupan sehari-hari masyarakat saat ini? Apakah seni pertunjukan? Apakah pewayangan? Gending jawa? Tembang-tembang? Internet? Sosial media? Video-video? Atau yang lainnya, apapun itu, tetaplah gunakan sebagai sarana untuk memperkenalkan, mempromosikan, menyebarluaskan, mendekatkan bagaimana Islam yang sesungguhnya, atau bagaimana cara beragama yang sesungguhnya, beragama tanpa melupakan keragaman.

Manusia sekarang sangat akrab dengan teknologi, internet, sosial media. Internet telah merasuk hingga sendi-sendi kehidupan manusia. Berawal dari hanya sekadar sebagai mempermudah komunikasi antar manusia, internet merambat ke berbagai lini lain seperti toko atau kegiatan jual beli, dalam pendidikan mempengaruhi metode mengajar yang baru yaitu melalui media internet baik itu secara langsung atau tidak, hingga ke ranah penyebaran agama. Banyak kita temui dai-dai mempromosikan ajaran agamanya masing-masing tentu dengan caranya masing-masing. Hal ini tentu memikat banyak kalangan di masa sekarang, yang mana orang ingin dengan secepat mungkin mendapat informasi yang dibutuhkan, terutama perihal agama. Orang tak butuh bertahun-tahun tinggal di pondok dan mengkaji berbagai literatur agama, sekarang orang setelah pulang kerja atau di waktu istirahat makan siangnya, bisa membuka gawai dan mengakses internet kemudian memilih darimana ia ingin belajar dan tentang apa yang akan ia pelajari.

Bagus, banyak orang memanfaatkan kemajuan ini untuk agama. Tapi apakah hal ini bebas dari berbagai informasi bohong? Informasi yang telah dipelintir yang digunakan untuk kepentingan suatu golongan apalagi golongan tersebut adalah golongan yang ingin merusak tatanan negara ini? Tidak. Tentu kita butuh orang-orang yang paham betul mengenai agama, dalam hal ini adalah agama Islam. Kita butuh orang yang telah lama belajar mengenai aswaja dari para kyai-kyai, habaib di berbagai pondok pesantren. Sudah saatnya ahlusunnah waljamaah digencarkan melalui media-media internet, dan tentu tanpa mengabaikan aspek budaya yang ada di masyarakat karena disitulah salah satu urgensinya. Dakwah dengan pemanfaatan apa yang digandrungi oleh masyarakat juga tanpa menghilangkan unsur budaya yang selama ini hidup di tengah masyarakat dan bersinergi dalam menciptakan sebuah keharmonisan agama dan budaya membentuk karakter atau jati diri bangsa yang siap menghadapai berbagai tantangan zaman.

Editor : Ahmad Sholeh

1 Komentar

Lebih baru Lebih lama