Tidak Bisakah Lebaran Tahun Ini Tanpa Baju Baru?

Oleh Azis Nugroho (PMII Rayon Bahasa dan Seni, Komisariat Al-Ghozali Semarang) pada Sabtu – 07:20 WIB
Lombok Epicentrum Mall
(Sumber Foto : Twitter @LMHTomi)

Menghitung hari detik demi detik…” (salah satu bunyi lirik lagu “Menghitung Hari”, milik ANDA).

Tampaknya bunyi lirik “menghitung hari detik demi detik…” tersebut, cukup bisa mengandaikan momen kemenangan umat Muslim yang sebentar lagi juga segera tiba. Ya, Hari Raya Idulfitri 1441 H yang bertepatan Minggu 24 Mei 2020.

Tentunya sampai saat ini, terhitung kurang lebih 30 hari berpuasa di bulan suci Ramadan 2020, dan tinggal besok kita merayakan Hari Raya Idul Fitri, sudah banyak hal yang kita—terkhusus masyarakat Muslim—lalui pada tahun 2020 ini. Salah satunya, dengan menjalani ibadah puasa di tengah pandemi virus Corona (SARS-Cov2). Meskipun begitu, masyarakat muslim tetap berusaha untuk ‘khusyu’ dalam menjalani ibadah puasa di bulan Ramadan tahun ini.

Bukan masyarakat +62 (Indonesia) namanya, jika tidak ada kehebohan di saat menjelang Hari Raya Idul Fitri. Sebab, di tengah pandemi yang belum tahu akan berakhir kapan, masyarakat Indonesia tetap berbondong-bondong merayakan tradisi yang sudah “mendarah daging” sejak zaman dahulu. Tidak terkecuali membeli atau memiliki baju baru.

Banyak postingan media yang kemudian beredar (foto dan video), terkait pusat perbelanjaan—pasar maupun mal—yang memperlihatkan bagaimana orang-orang atau pengunjung berdesakan membeli kebutuhan pokok berupa bahan makanan maupun baju baru di tengah pandemi virus Covid-19 ini. Seperti dilansir dari m.liputan6.com pada 19 Mei 2020: (1) pasar dan pusat perbelanjaan di Palembang (beberapa warga terlihat mengantri membeli baju lebaran); (2) Roxy Square Jember, Jawa Timur (yang sempat viral, karena banyak pembeli yang sampai rela mengantri untuk berbelanja); dan (3) pusat perbelanjaan di Lombok (bahkan antrian mayarakat terlihat mengular), serta di KOMPAS.com pada 18 Mei 2020, di mana terjadi sidak Bupati Banyumas, Ahmad Husein, ke sejumlah mal dan toko di Purwokerto, sebab banyak pengunjug yang tidak menerapkan aturan jaga jarak (pshycal distanching). Lebih lanjut, dibeberapa contoh di atas, banyak juga yang tidak memakai masker seperti anjuran pemerintah sebagai salah satu upaya mencegah penyebaran Covid-19. Sangat miris!

“Idulfitri memang hari raya umat Islam—Muslim—dan wajar bagi kita (masyarakat yang menjalankan) merayakan hari kemenangan itu dengan penuh suka cita. Memakai pakaian terbaik, saling bersilaturahmi atau saliang mengunjungi, bahkan membahagiakan keluarga dengan hidangan yang lebih dari biasanya, juga dilakukan dan dicontohkan Baginda Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam”. 

Tetapi, untuk saat ini semua itu berbeda—berbeda kondisi dengan apa yang sekarang sedang terjadi—, Mengapa demikian?

Pertama, saat ini dunia sedang sama-sama menghadapi pandemi virus Covid-19 yang semakin hari semakin menyebar dan entah akan berakhir kapan—atau bisa jadi, tidak akan pernah berakhir pandemi ini. Oleh karenanya, salah satu cara sederhana yang bisa dilakukan untuk menekan jumlah korban terinfeksi virus Covid-19, yakni dengan “tetap berada di rumah” (stay at home), bekerja di rumah (work from home), karantina wilayah (lockdown), serta kegiatan-kegiatan lain yang memang lebih banyak harus dilakukan di rumah masing-masing, dan tagar #Dirumahsaja semoga benar-benar dilakukan dan diterapkan, tidak hanya sebatas ramai di medsos.

Kedua, ini yang harus dipahami bersama bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam mengenakan baju atau pakaian terbaik, bukan baju atau pakaian baru, terbaik tidak harus baru! jadi tidak harus memaksakan untuk membeli pakaian yang baru. Jadi, sebenarnya tidak ada kewajiban khusus yang mengharuskan itu. Semua kembali lagi kepada apa yang disebut “stigma masyarakat”. Lebih lanjut, ketika sudah ada baju atau pakaian baru di tengah lebaran, besar kemungkinan untuk dipakai jalan-jalan.

Ketiga, ini semata-mata dilakukan bukan untuk mematikan tradisi yang sudah “mandarah daging” bagi masyarakat Indonesia menjelang lebaran. Tetapi, ini bentuk kerja sama untuk saling menjaga, saling peduli, dan bukan tidak mungkin wabah Covid-19 akan segera pulih atau hilang jika seluruh elemen masyarakat saling bahu-membahu menekan penyebarannya. Kaitannya dengan tradisi “baju baru”, bisakah untuk sekali ini saja tidak usah ngoyo; mengharuskan sekali untuk membeli atau memiliki baju baru? Toh kemungkinan, baju-baju lebaran sebelumnya masih bagus dan masih layak pakai. Atau supaya tetap adil, sebenarnya bisa juga ditunda sampai virus Covid-19 benar-benar hilang di bumi ini. Bukankah yang terpenting adalah memakai baju terbaik saat lebaran? Sedangkan waktu membelinya, bisa kapan saja? Ingat! Ini demi keberlangsungan hidup bersama. Bukan satu atau dua orang saja. Pahami!

Sebagai pengingat, mari bersama kita lihat perjuangan tim medis yang sampai saat ini masih tetap berjuang, masih berupaya sekuat tenaga menangani pasien yang terinfeksi virus Covid-19. Apakah hal itu tidak cukup menyadarkan kita? Terlebih, mereka harus rela tidak bertemu dengan sanak saudara, keluarga, bahkan buah hati mereka. Untuk apa? Untuk kita, masyarakat yang dengan enteng menyepelekan virus Covid-19, lalu akhirnya positif terinfeksi, dan akhirnya mau tidak mau harus ditangani oleh para tim medis. Ingat lagi! Tim medis pun banyak juga yang meninggal akibat terinfeksi virus Covid-19, bahkan sebelum mereka bertemu dengan keluarga di rumah. Menyedihkan, memang. Tetapi, kenyataannya seperti itu adanya.

Lalu, apa kabar dengan puasa dan puncaknya yakni saat hari Raya Idul Fitri bagi tim medis? Apakah mereka sama seperti kita yang sedang di rumah? Tentu tidak, bukan? dan, iya, pasti. Tim medis akan menikmati kehangatan lebaran bersama keluarga di rumah tercinta. Disaat virus Covid-19 memang benar-benar sudah hilang. Jika tidak? Ya, tim medis akan tetap seperti sekarang, bekerja di rumah sakit atau unit kesehatan yang lainnya, memakai APD kurang lebih 8 (delapan) jam atau bahkan lebih, begadang setiap hari, dan jangankan memiliki atau memakai baju baru, menikmati opor ayam, ketupat, sambal goreng ati, dan lainnya saja belum tentu mereka bisa. Meskipun, saya yakin, hati kecil mereka pasti sudah sangat lelah dan ingin sesegera mungkin hidup normal seperti yang lainnya, berpuasa dengan ‘khusyu’, berkumpul dengan sanak saudara, anak, keluarga, menyiapkan pernak-pernik lebaran, bahkan tidak menutup kemungkinan ikut memburu baju lebaran untuk menambah kebahagiaan mereka. Tetapi, ingat! Keadaan yang sekarang, berbeda dengan keadaan sebelumnya. Ya, sebelum virus Covid-19 menyebar di Indonesia bahkan di seluruh dunia.

Mari sama-sama kita berdoa, semoga pandemi ini bisa segera pulih, segera hilang, dan dunia kembali normal. Tentu dengan pola pikir manusia yang lebih baik, lebih maju, terbuka (open minded), kritis (critical thinking), lebih bisa peduli dan memahami, dan menyadari bahwa manusia bukan siapa-siapa. Semua yang terjadi atas kehendak Tuhan Yang Maha Esa.

Berkaitan dengan tradisi “baju baru”, kembali lagi saya sampaikan: Bisakah untuk sekali ini saja tidak usah ngoyo; mengharuskan sekali untuk membeli atau memiliki baju baru? Toh kemungkinan, baju-baju lebaran sebelumnya masih bagus dan masih layak pakai. Atau supaya tetap adil, sebenarnya bisa juga ditunda sampai virus Covid-19 benar-benar hilang di bumi ini. Bukankah yang terpenting adalah memakai baju terbaik saat lebaran? Sedangkan waktu membelinya, bisa kapan saja? Ingat! Ini demi keberlangsungan hidup bersama. Bukan satu atau dua orang saja. Maka, pahami!

Terakhir, saya rasa perlu untuk menanyakannya lagi: “Tidak Bisakah Lebaran Tahun Ini Tanpa Baju Baru?”
Wallahu a’lam….

Editor : Ahmad Soleh

1 Komentar

Lebih baru Lebih lama