Santri, Pesantren, dan Tentang Menjadi Indonesia

Judul Buku: Peradaban Sarung
Penulis: Ach. Dhofir Zuhri
Penerbit: PT Elex Media Komputindo
Tahun Terbit: 2018
Tebal: xvi + 256 halaman
ISBN: 978-602-04-7705-3
Peresensi: Hasan Labiqul Aqil (Ketua II Bidang Eksternal PMII Unnes)

Will Durrant (1885-1981) seorang sejarawan Amerika yang populer dengan bukunya The Story of Civilization, yang terdiri dari 42 Jilid dan memuat sejarah peradaban sejak awal mula manusia hingga kini, berpendapat bahwa peradaban adalah aturan masyarakat yang menentukan manusia atas tambahan nilai peradabannya dengan beberapa unsur seperti ekonomi, politik, akidah yang diciptakan, disusul berbagai ilmu dan keahlian.

Friedrich Nietzsche (1844-1900) filsuf Jerman penulis buku Zarathustra juga mengatakan bahwa peradaban adalah ketetapan atas keseimbangan dan akhlak, meninggalkan belenggu karena tabiat kita merdeka untuk melakukan apa yang diinginkan. Sedangkan Ibnu Khaldun (1332-1406) berpendapat bahwa peradaban adalah keahlian dalam bidang kelapangan dunia, memperbaharui kondisinya, menemukan penciptaan-penciptaan Nya yang mencengangkan berupa temuan-temuan di berbagai keahlian.

Terdapat banyak definisi tentang peradaban, karena definisi ini bukan sesuatu yang disepakati di antara pemikir dan intelektual. Setiap definisi itu saling melengkapi atau kadang justru saling bertentangan. Definisi ini dikembalikan kepada kalimat yang membersamainya.

Lalu bagaimana dengan peradaban sarung?

Apa yang muncul di benak kita ketika mendengar kata sarung? Adalah kain lebar berbentuk persegi dan dijahit kedua ujungnya hingga berbentuk tabung, dengan berbagai motif dan corak – termasuk motif ruang angkasa milik Tretan Muslim – yang digunakan untuk menutupi tubuh sebagai pakaian bawahan. Lantas apa pentingnya sarung? Kabar baiknya, buku ini tidak membahas mengenai sarung, akan tetapi karena kultur pesantren yang sangat identik dengan sarung, maka, sarung(an) adalah anasir yang paling pas untuk mewakili kaum santri.

Santri dan Pesantren

Gus Dhofir menjelaskan kata santri berarti murid atau pelajar dalam bahasa Jawa, kata santri juga disinyalir berasal dari kata cantrik yang berarti orang yang mengikuti guru dalam bahasa Sansekerta dan Kawi, sedang Cornelis C. Berg (1934-2012), seorang budayawan Hindu-Budha di Indonesia, berpendapat bahwa santri berasal dari istilah shastri, yang dalam bahasa India berarti orang yang tahu atau mempelajari buku-buku suci agama (h. 163).

Pada episentrum ini jelas bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan yang berkembang dari lembaga pendidikan Hindu-Budha yang dulunya disebut Dukuh, tempat para wiku (calon pendeta) belajar. Salah satu kegiatan para wiku sebagai siswa di dukuh adalah mempelajari sashtra (kitab suci). Orang yang menekuni sashtra disebut sashtri (yang mempelajari kitab suci). Demikianlah, kata Sansekerta sashtri dilafalkan dalam lidah muslim Jawa menjadi santri. Itulah latar sejarah mengapa pendidikan Islam tradisional disebut pesantren, yang bermakna tempat para santri (pe-santri-an) (h. 164).

Kata santri adalah gabungan dari huruf arab Sin, Nun, Ta’, Ra’ dan Ya’. Bagi Gus Dhofir kelima huruf tersebut memiliki filosofi, Sin artinya Salik ilal-Akhirah (menempuh jalan spiritual menuju akhirat), Nun bermakna Na-ib ‘anil-Masyayikh (penerus para guru), Ta’ berarti Tarik ‘anil-Ma’ashi (meninggalkan maksiat), Ra’ akronim dari Raghib ilal-Khayr (selalu menghasrati kebaikan) dan Ya’ adalah Yarjus-Salamah (optimis terhadap keselamatan) (h. 5-7). Filosofi yang mencerminkan diri sebagai seorang pelajar yang memiliki kejelasan orientasi hidup.

Oleh karena itu, meski kita tidak pernah belajar secara legal di pesantren, jika kita memiliki kelima prinsip tersebut dan sungguh-sungguh menghayati untuk kemudian diterapkan dalam keseharian, maka kita adalah santri, begitu mirip dengan apa yang dituturkan Romo Kiai Mustofa Bisri (Gus Mus) bahwa santri bukan hanya yang mondok saja, tapi siapapun yang berakhlak seperti santri, dialah santri.

Menjadi Santri, Menjadi Indonesia

Indonesia adalah tempat kita lahir dan berpijak, bernafas, makan dan minum, belajar, nyantri, bertani, berniaga, dan bahkan Indonesia lah yang akan mendekap memeluk kita ketika kita mati, meskipun tanah airnya tak henti-henti kita eksploitasi. Tidak harus menjadi Arab, Eropa, atau Korea, sebab Indonesia adalah identitas kita. Tidak perlu malu mengakui dan membanggakan hal itu. Apa sebab? Gus Dhofir menuliskan,

“Indonesia ini disujudi para Nabi, ditangisi para wali, dirapal dalam doa para pertapa dalam azimat para resi dan munajat para begawan. Tak kurang lebih dari empat juta santri di pesantren selalu menangisinya dengan doa...”(h. 204)


Gus Dhofir, melalui buku ini, mengajak kita untuk menyelami diri kita sendiri mengapa kita harus tetap tinggal di Indonesia, bukan hanya sekadar tinggal namun juga memperjuangkan Tanah Air dan berkorban jiwa-raga demi Indonesia. Tempat terbaik untuk memulai hidup baru yang berkualitas adalah tempat di mana kita tinggal sekarang. Jika demikian, setiap kali kita berandai-andai untuk tinggal atau berada di tempat lain demi menghindari keadaan saat ini, pada saat yang sama kita telah menjauhkan diri kita dengan kebahagiaan kita sendiri (h. 203).

Kita mungkin memiliki gagasan hebat untuk pergi belajar ke Arab atau Eropa, namun jika kita seorang pemboros suka hidup berfoya-foya dan bergaya hidup konsumtif, maka tetap saja, kita akan terus menjadi seorang pemboros. Saran terbaik dari Gus Dhofir adalah sebelum hijrah berpindah tempat terlebih dahulu pertimbangkan untuk pindah dari pola pikir dan pola sikap lama, dari gelap menuju cahaya (h. 205).

Oleh karena itu, setiap hari kita perlu menyucikan intelektualitas-spiritualitas kita dengan “air” wudhu, lalu bersujud merendahkan wajah sebagai simbol identitas kita ke “tanah”. Dahulu, wangsa Sanjaya membangun kebudayaan tanah dan wangsa Purnawarman membangun kebudayaan air, maka jadilah filosofi pusaka Tanah Air (h. 204). Sedangkan saat ini, kita terjebak dalam gegap-gempita ramai-ramai ingin menjadi Arab, Eropa, Korea, dan Amerika. Berbeda dengan santri yang lebih memilih tetap menjadi Indonesia dari pada menjadi yang lain.

Membaca buku ini ibarat minum jus melon di bawah terik matahari, segar, manis, dan kaya rasa. Pembahasan yang bertema berat dan agak ilmiah disajikan dengan bahasa ringan, populer, dan mudah dimengerti, tidak secara akademis yang ketat dan berhamburan referensi. Bonusnya kita mendapati kata-kata dari Gus Dhofir selaku penulis sangat puitis dan quotable yang siap dijadikan Snapgram atau Whatsapp Story.

Semoga kita semua mendapat barokah dari para kiai, para guru dan pesantren.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama