Tangga Kebersamaan

 Oleh Dodi Maghfud Farifin (Rayon Garudapada Rabu – 16.00 WIB

 

TANGGA KEBERSAMAAN


Diperkampungan yang jauh dengan kota, tinggallah salah satu keluarga kecil yang bahagia. Bapak, Ibu, dan Aku. Nama Lengkapku Lisa Maharani. Aku adalah anak tunggal dari Bapak dan Ibu. Suatu malam, Aku terbangun dari tidur dan berkata dalam hati “Mimpi apa aku tadi?”. Seperti malam yang tidak pernah bertemu dengan siang. Itulah yang aku mimpikan, mustahil untuk bisa diraih. Kemudian akupun mengabaikan apa yang baru saja di ucap dan bergegas untuk tidur kembali.

Keesokan harinya, seperti biasa Aku bergegas untuk berangkat ke sekolah. Aku adalah seorang siswa yang masih duduk dibangku Sekolah Dasar kelas 12 SMA. Sebelum berangkat sekolah, aku selalu membantu Ibu memasak didapur. Rumah Bapak dan Ibu sederhana, begitupun dapur dan kamar mandi, meskipun sederhana tapi aku bersyukur mempunyai keluarga yang bahagia dengan hidup apa adanya. Dari dapur terdengar suara teriakan Fari “Lisa ayo berangkat sekolah, sudah pukul 06.40 ini nanti telat”. Sontak akupun menjawab “Iya, aku siap-siap dulu”. Aku dan Fari adalah teman satu kelas, bahkan kita satu bangku. Setiap hari Fari selalu menghampiri rumahku karena jarak sekolah dan rumahku memang dekat. Kita menuju ruang kelas dengan jalan santai sambil melihat papan mading yang terpampang berita baru setiap harinya. Aku menyenggol bahu Fari dan berkata “Tadi kamu lihat ngga ada apa?”. “Ngga, memangya ada apa Lis?” Sahut Fari. Akupun menjelaskan apa yang aku lihat sekilas “Tadi di papan mading tertera ada tulisan Info Perlombaan tapi gatau jugga sih perlombaannya apa. Nanti kita lihat lagi, barangkali kita bisa ikut”. Fari hanya menggangguk sebagai balasan iya. Fari memang seperti itu, tidak banyak berbicara namun banyak bergerak. Berbeda dengan aku yang selalu banyak bicara namun takut jika bertindak.

(Bel istirahat berbunyi)

Aku segera menuju papan mading yang berisikan pengumuman informasi lomba, Baru sampai didepan pintu kelas, aku menengok kebelakang dan berharap Fari ikut melihat papan madingnya.

“Far, ayo!” Lisa mencoba memanggil Fara yang masih duduk di bangkunya.

“Apa sih Lisa? Masih beresin buku nih” Jawab Fari dengan perlahan.

“Mau lihat pengumuman tadi di papan mading, penasaran tentang informasi lomba apa yang terbaru. Siapa tahu aku bisa ikut” Sahutku dengan suara keras.

Dari luar terdengar suara lantang “Lisa mau ikut lomba? Hahahaha mana bisa juara, daftar saja gak mampu!” .

Seketika aku terdiam ketika mendengar suara itu. Aku merenung dan berkata dalam hati berharap untuk tetap bisa mengikuti perlombaan “Iya juga ya, aku bukan terlahir dari keluarga mampu, ketika aku butuh pun Bapak dan Ibu selalu bekerja keras terlebih dahulu baru dibelikan. Nanti aku mau nabung dulu deh kalau biayanya mencukupi”. Fari mendatangiku dan langsung menuju papan mading yang akan kita lihat. Ternyata didepan papan mading  sudah banyak siswa yang memenuhi, Aku dan Fara menunggu para siswa itu agar tidak berdesak-desakan didepan papan mading itu. Di depan papan mading tertulis jelas “Lomba Menulis Cerpen tingkat Nasional”. Satu hal yang saya cari adalah biaya pendaftarannya. Dan tertera pada papan mading nya biaya pendaftarannya 200 ribu. Fari menepuk bahuku dan berkata “Lis, 200 ribu itu, gausah ikut saja daripada kamu keberatan”. Aku langsung menjawab “Tidak ah. aku tetap mau mengikuti perlombaan itu. Aku juga mau membuktikan bahwa aku bisa. Aku bisa membayar biaya pendaftaran dan aku bisa memenangkan perlombaan itu”. “Sebagai teman baikmu aku tetap mendukungmu” Balas Fari ke Aku. “Semoga nanti kamu menang Lis” Lanjut Fari. Setelah cukup lama Aku dan Fari mengobrol didepan papan mading, salah seorang guru berkata “Ayo masuk kelas, sudah dari tadi bel masuk berbunyi”. Kami berdua pun menjawab “Baik Bu”. Kami segera berlari kearah kelas karena jarak papan mading dan kelas kita lumayan jauh.

Sesampai dirumah aku bercerita ke Ibu bahwa aku ingin mengikuti perlombaan namun yang masih aku pikirkan adalah biaya pendaftaran. Bagaimana caranya aku bisa mendapatkan uang 200 ribu itu. Aku mencoba bertanya ke Ibu “Bu, Ibu punya uang lebih ngga Bu? Lisa ingin mengikuti perlombaan namun biaya pendaftarannya 200 ribu Bu, Lisa bakal buktiin ke Ibu bahwa nantinya Lisa bisa menjadi pemenangnya”. Aku tidak pernah seserius ini dalam mengambil keputusan tapi aku yakin aku pasti bisa. Melihat Aku yang serius untuk mengikuti lomba Ibu dengan rendah hati berkata “Kamu serius mengikuti? Kamu yakin bisa? Kalau memang iya nanti Ibu pinjamkan uang ke tetangga sebelah ya”. Sontak aku langsung menjawab “Pinjam Bu? Kalu pinjam ngga usah saja Bu, daripada Lisa jadi beban”. “Tidak apa-apa anak, kalau memang kamu ada kemauan, kamu harus serius dalam perlombaan itu. Nanti Ibu pinjamkan ke tetangga saja ya anak”. Balas Ibu dengan mengelus kepalaku. Aku merasa tidak enak dengan perjuangan Ibuku yang meminjam uang tetangga hanya untuk membayar pendaftaran lomba saja. Mulai saat ini Aku harus belajar membuat cerita-cerita pendek yang nantinya aku jadikan sebaga karya dalam perlombaan itu. Dalam benakku berkata “Cerita apa yang aku ambil nantinya ya? Apa cerita sosok perjuangan Ibuku tadi? Tapi aku tidak yakin kalau diangkat menjadi sebuah cerita pendek akan memenangkan perlombaan itu”. Tapi disisi lain aku berpikir “Bagus juga cerita sosok perjuangan Ibu, apalagi yang menjadi tokoh utama adalah ibuku sendiri, semoga dengan cerita sosok Ibu, doa Ibuku selalu menyertaiku. Aamiin”.

Hari ini, Lomba Cerpen tingkat Nasional yang diadakan di sekolahku sudah mulai. Ratusan siswa datang silih berganti, namanya juga tingkat Nasional. Aku merasa kurang pede dengan cerita pendek yang akan aku bawakan. Fari yang selalu menemaniku berusaha membuat aku agar berpikiran yang positif untuk bisa memenangkan perlombaan. Satu demi satu peserta lomba mulai bercerita diatas panggung yang sudah disiapkan. Aku mendapat nomor urut 101, cukup lama untuk menunggu 100 peserta yang lain. Fari mengajakku untuk ke kantin sekolah agar aku tidak melihat peserta lainnya dalam bercerita. Memang Fari adalah teman suka dan duka. Setelah terdengar sudah memasuki peserta nomor urut 95, Fari mengajakku kembali didepan panggung dan memintaku untuk bersiap diri. Dan aku pun dipanggil melalui speaker “Nomor urut 101 Lisa Marahari”. Tepuk tangan penonton sudah membuat aku merinding terharu ditambah lagi dari suara belakang “Lisa yang semangat. Aku tahu kamu bisa!” Suara Fari yang terdengar sangat lantang. Menit demi menitpun selesai, aku menuruni panggung dan langsung menuju tempat Fari duduk. Sambil memeluk Fari aku berkata “Far, bagaimana tadi far, pembawaanku bagus tidak?”. “Bagus! Bagus sekali Lis, aku bangga memiliki teman pemberani seperti kamu Lis. Aku ingin memiliki sifat pemberani seperti kamu, nanti ajari aku ya!” balas Fari.

Hari semakin sore, pengumuman pemenang lomba pun segera dibacakan. Aku dan Fari saling berpegangan tangan berharap namaku masuk dalam juara.

“ JUARA 3 diraih oleh Bita Santika” Suara tepuk tangan yang ramai setelah pembacaan.

“JUARA 2 diraih oleh Lisa Maharani” diikuti dengan suara tepuk tangan yang meriah.

“JUARA 1 diraih oleh Budi Maghfud” diikuti suara tepuk tangan dan beberapa bunyi petasan sebagai tanda berakhirnya pembacaan pemenang lomba.

Aku menuju panggung dengan perasaan yang aku sendiri tidak tahu. Rasa senang, sedih, bahagia, terharu menjadi satu. Meskipun aku dari keluarga yang kurang mampu, akhirnya aku bisa mewujudkan apa yang sudah lama aku impikan. Baru kali ini aku masuk dalam deretan pemenang. Sungguh keajaiban datang padaku. Sebuah kisah perjuangan Ibuku bisa aku bawakan didepan semua orang. Aku juga membuktikan bahwa aku bisa meninggikan derajat Bapak dan Ibu ku meskipun aku masih duduk dibangku SMA.

Inilah ceritaku, Lisa.

Tamat

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama