Het Verhaal Van Diplomaten

Oleh Muhammad Rizal Akbar Maulana (Ketua Bidang 1 Internal PMII Unnes 2020-2021 & Anggota Biro Media Cabang Semarang 2021-2022) pada 13 April - 12.28 WIB.



      Beberapa hari lalu, saya melihat kawan-kawan membagikan sebuah video di Story WhatsApp mereka. Dalam video tersebut, terlihat 5 orang lelaki dengan setelan Rapih lengkap dengan jas, dasi, & rambut klimis mereka yang khas orang-orang masa revolusi. Beberapa teman menuliskan caption yang menunjukkan kekaguman mereka pada Style, pose, ataupun ‘aura terdidik’ yang dimiliki tokoh-tokoh dalam video. Sayangnya, pada video tersebut, nyaris tidak dapat ditemukan keterangan terkait siapa nama tokoh yang ada didalamnya maupun tempat & waktu kejadian. Satu-satunya tulisan yang dapat saya temukan dari video tersebut adalah “Perwakilan Indonesia pada Sidang Dewan Keamanan PBB 1947”.

     Lantas, sebenernya temen-temen tau nggak sih keterangan kegiatan, waktu, maupun tokoh-tokoh yang ada didalam video tersebut dapat dipertanggungjawabkan validitasnya ? Jika belum, mari kita bahas satu-persatu.

     Menurut data yang saya kumpulkan dari berbagai sumber, foto ini memang benar menunjukkan delegasi Indonesia pada Sidang Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang saat itu berlangsung di Lake Success, Long Island, New York, Amerika Serikat, pada bulan Agustus 1947.

Adapun nama-nama tokoh dalam gambar adalah sebagai berikut :

 

1.      Sutan Sjahrir

     Beliau adalah intelektual, perintis, diplomat, dan tokoh revolusioner Indonesia berjuluk “Begawan Revolusi”. Ialah yang pertamakali menduduki jabatan Perdana Menteri Indonesia. Kehidupan pendidikannya sangat baik, mendukung kemampuan intelektualitas yang ia miliki sehingga mengukuhkannya menjadi salah satu tokoh yang moncer dalam pergerakan nasional. Ia dekat dengan tokoh pergerakan macam Soekarno & Hatta, bahkan sempat ikut ‘menemani’ mereka berdua saat diasingkan di Boven Digoel & Banda Neira.

     Sayang, nasibnya tidak selamanya baik, pada 1960, hubungannya dengan Soekarno memburuk sebab partai yang ia gawangi dicatut namanya dalam percobaan pemberontakan PRRI, yang berakibat pada dibubarkannya PSI serta diadilinya Sjahrir. Puncaknya, Sjahrir mengalami stroke yang mengharuskannya berobat ke ke Zürich, Swiss. Hingga pada 9 April 1966, Sjahrir berpulang dalam kalut penderitaan.

 

2.      H. Agus Salim

     Poliglot ulung yang lahir dengan nama Masyhudul Haq (Pembela Kebenaran). Lulusan terbaik HBS se-Hindia Belanda yang sebenarnya berkesempatan melanjutkan pendidikan ke Belanda lewat beasiswa yang dialihkan dari R.A. Kartini, namun Agus Salim dengan tawadhu menolak.

     Kisah kecerdasannya saat berdiplomasi sangat masyhur dikenal oleh kalangan diplomat Indonesia dari zaman ke zaman. Ia mendirikan surat kabar Fadjar Asia dan membuka kantor Advies en Informatie Bureau Penerangan Oemoem (AIPO). Bersamaan dengan itu, Agus Salim terjun dalam dunia politik dan sempat diamanahi menjadi pemimpin Sarekat Islam. Puncaknya, Agus Salim ditunjuk Soekarno menjadi Menteri Luar Negeri menggantikan Sutan Sjahrir yang saat itu ‘naik pangkat’ menjadi Perdana Menteri.

 

3.      Soedjatmoko Mangoendiningrat

     Lahir dari keluarga bangsawan Jawa, belajar di sekolah kedokteran di Batavia dan mengalami pengusiran dari sekolahnya saat orang-orang Jepang menguasai Batavia pada 1943. Setelah kemerdekaan Soedjatmoko bergabung pada Partai pimpinan Sjahrir dan terpilih menjadi anggota konstituante.

     Pada saat Soekarno menunjukkan sisi otoritariannya, Soedjatmoko aktif mengkritik. Guna menghindari pencekalan, ia hijrah ke New York dan menjadi dosen di Universitas Cornell di Ithaca, New York. Ia sempat mencicipi posisi sebagai Duta besar Indonesia untuk Amerika Serikat pada 1968.

     Prestasi terbaik lain yang ditorehkan Soedjatmoko adalah menjadi penerima Penghargaan Ramon Masaysay untuk Hubungan Internasional dan diangkat menjadi Rektor Universitas Perserikatan Bangsa-Bangsa di Tokyo, Jepang pada 1980.

 

4.      Soemitro Djojohadikusumo

     Soemitro dikenal sebagai ayah Prabowo Subianto, tokoh yang sudah malang-melintang pada gelaran perpolitikan Nasional. Soemitro lahir dari pasangan Margono Djojohadikusumo (Pendiri BNI, Ketua DPAS, & Anggota BPUPKI) dan Siti Katoemi Wirodihardjo.

     Soemitro pernah menjabat menjadi Menteri Keuangan, Menteri Perindustrian, & Menteri Riset. Ia meraih gelar ekonominya dari Nederlandsche Economische Hogeschool di Rotterdam, Belanda pada 1943. Soemitro meraih banyak penghargaan, dua diantaranya adalah Bintang Mahaputra Adipradana (II) & Grand Cross dari Thailand dan Belgia.

     Sebagaimana Sjahrir, ia hampir-hampir terseret dalam pusaran ‘Geger geden’ pemberontakan PRRI. Beruntung nasibnya tak separah Sjahrir yang secara terang-terangan diadili oleh rezim. Soemitro meninggal pada 9 Maret 2001 dalam usia 84 tahun setelah cukup lama menderita penyakit jantung dan penyempitan pembuluh darah.

 

5.      Charles Tambu

     Diantara 5 nama yang saya sebutkan di awal, mungkin nama Charles Tambu-lah yang paling tidak familiar. Namanya sempat disebut-sebut kembali saat terjadi kontroversi pencopotan Arcandra Tahar dari jabatannya sebagai menteri ESDM karena memiliki paspor Amerika.

     Charles Tambu adalah lelaki berdarah Tamil dari orang tua yang merupakan imigran dari Sri Lanka. Meski begitu, simpati dan perjuangannya bagi Indonesia tentu tidak dapat dianggap remeh, begitulah yang tertulis dalam Majalah Merdeka pada artikel “Charles Tambu: Turunan asing tapi djiwanja Indonesia”.

      Perjuangannya ini berhasil mengetuk pintu hati Soekarno hingga menghadiahkan sebuah paspor Indonesia pada Charles Tambu dan menunjuknya menjadi Konsul Jenderal Indonesia di Manila hingga tahun 1953.


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama