Satu Abad Pramoedya Ananta Toer, Apa yang Kita Pelajari?

 Oleh Muhamad Nabil Gunawan (PMII Komisariat Al-Ghozali Semarang) pada Rabu, 26 Februari 2025 - 14.45 WIB


Sumber gambar: https://images.app.goo.gl/4XmPaRNfxpSuDW498


Seratus tahun sudah Pram hadir dalam kehidupan ini, bukan waktu singkat memang, tapi apa yang telah diwariskannya tentu tak ternilai harganya. Karya-karya monumentalnya mewarnai khasanah sastra di Indonesia dan sudah sepatutnya menjadi bacaan wajib bagi kita untuk mengenal bangsa kita sendiri dalam pendekatan karya sastra. Pram adalah tokoh besar yang akan selalu menjadi inspirasi bagi generasi muda Indonesia. Oleh karenanya melalui tulisan singkat ini, saya akan menjabarkan tentang siapa itu Pram, mengenal kembali seorang tokoh yang seharusnya masuk dalam buku-buku kanon sejarah modern Indonesia, dan apa yang bisa kita pelajari darinya.

Pram dikenang bukan hanya saja sebagai sastrawan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), tokoh intelektual, atau sejarawan, tetapi lebih besar dari itu semua. Pram menerangi kegelapan yang seakan-akan tak pernah tersentuh secarik cahaya. Perjuangannya bukan tanpa tantangan berarti, masa-masa kelam pasca tragedi 65 tentunya membuat Pram dibui tanpa ada keterangan yang jelas. Ia dituduh menjadi simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI), karya-karyanya dibakar dan dilarang dibaca di masa pemerintahan orde baru berkuasa.

Pada saat itu hanya butuh dugaan dan sentimen saja untuk membunuh dan memenjarakan orang, tragis memang. Pram dipenjara selama 14 tahun dan setelahnya menjadi tahanan rumah di Utan Kayu, Jakarta sampai era reformasi menjemputnya dari jeruji besi orde lama. Kejatuhan orde baru pada 1998 tutur serta melepaskan belenggu dari pria kelahiran Blora tersebut. Suaranya mulai terdengar kembali, bukunya dicetak lagi, dan pada akhirnya beberapa bulan setelah presiden Abdurrahman Wahid (gus dur) menjabat, beliau meminta maaf secara simbolis kepada seluruh keluarga korban tragedi 65 termasuk Pram –walaupun Pram menolak mentah-mentah permintaan maaf tersebut– dan memulai rekonsiliasi.

Karya-karya Pram

Melalui tangannya, Pram telah menghasilkan 50 karya yang sudah diterjemahkan kedalam 41 bahasa. Karyanya yang paling banyak dibaca adalah novel Bumi Manusia yang masuk dalam tetralogi Buru. Selain itu ada Nyanyian Seorang bisu I dan 2 (1995 - 1996), Arus Balik (1995), Arok Dedes (1999), dan Larasati (2000). Beberapa di antaranya diterjemahkan ke Bahasa Belanda dan Inggris.

Melalui tetralogi Buru (1980-1988) –Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca–, Pram menyajikan cerita epik seorang Minke, pribumi tulen yang berjuang melawan penindasan kuasa pemerintah kolonial Belanda. Minke adalah salah satu siswa di HBS (Hoogere Burger School). Tak semua orang punya privilege untuk bisa mengenyam pendidikan pada masa itu, hanya kalangan priyayi dan keturunan Belanda saja yang bisa menerimanya. Kita diajak untuk menyelami bagaimana kuasa kolonial bekerja dan meminggirkan kaum bumiputera melalui ketimpangan status sosial dan hukum kolonial. Dimata Belanda, penduduk pribumi tak lebih dari kaum kelas bawah yang tidak setara dengan mereka. Selayaknya status budak, maka orang eropa bisa dengan mudah menginjak-injak martabat pribumi. Mereka adalah jongos yang sudah seharusnya mematuhi segala aturan dan status quo yang telah dibangun.

Selain menulis buku, Pram juga acap kali menulis artikel dengan beberapa judul. Salah satunya yang paling terkenal ditulis dalam judul The Book That Killed Colonialism menjabarkan bagaimana tulisan Max Havelaar mengguncang pemerintah kolonial Belanda yang pada akhirnya mencetuskan politik etis pada tahun 1901. Walaupun artikel tersebut dikritik secara detail oleh Saut Situmorang, tulisannya tetap layak dibaca dan dijadikan bahan refleksi generasi muda.

Apa yang kita pelajari?

Pram mengangkat gaya sastra yang sangat dekat dengan rakyat, menurutnya sastra itu tidak elitis, sastra harus merefleksikan kehidupan rakyat yang pada zamannya sangat jauh dari kata mapan sejahtera. Sastra sama seperti ilmu pengetahuan, tidaklah nir-politis, sastra pastilah berpihak, tinggal pertanyaannya berpihak kepada siapa sastra yang ditulis? kepada mereka-mereka yang papah dan terpinggirkan atau kepada mereka yang hidup ongkang-ongkang di menara gading.

Dalam Bumi Manusia, ia menyajikan Nyai Ontosoroh sebagai seorang perempuan pribumi yang teguh dan kokoh dalam menghadapi penindasan kolonial. ‘Nyai’ adalah status sosial yang dicap menjijikan pada zaman itu untuk menggambarkan gundik perempuan. Nyai Ontosoroh melalui perjalanan hidup yang terjal, pada saat mudanya dijual oleh ayahnya sendiri kepada seorang Belanda bernama Herman Mellema untuk sekedar gulden yang tak seberapa.

Alih-alih tunduk kepada takdir tuhan, ia mulai menerima semua cobaan yang ditimpakan kepada dirinya. Dengan bantuan Herman, ia mulai belajar banyak hal, membaca, menulis, dan berhitung. Hal tersebut tentunya tak bisa didapatkan secara cuma-cuma oleh pribumi lain. Puncaknya adalah ketika Herman mulai tak bisa menguasai dirinya, kecanduan opium dan menjadi pelanggan tetap rumah bordil, Nyai Ontosoroh mengambil alih segala urusan bisnis perusahaan Herman Mellema. Ia berkembang menjadi wanita yang kuat, pintar, dan cerdas.

Meskipun telah membuktikan kemampuannya, masyarakat tetap tutup mata dan menghakimi. Puncaknya ketika putrinya Annelies Mellema yang juga adalah istri dari Minke, ditangkap dan dibawa paksa ke negeri Belanda karena dianggap bukanlah anak sahnya bersama Herman. Hukum eropa menganggap pernikahan antara Herman yang merupakan orang kulit putih totok dan Ontosoroh yang merupakan gundiknya, tidaklah sah secara hukum. Oleh karenanya hak asuh Annelies akan diberikan kepada istri tua Herman yang ada di Belanda. Disisi lain kekayaan Herman yang dikelola oleh Nyai Ontosoroh juga direbut paksa oleh pemerintah kolonial. Sebuah pukulan telak bagi Nyai Ontosoroh. Diakhir ia berkata kepada Minke “Kita telah melawan, nak, nyo. Sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.”. Ujaran tersebut adalah seruan moral untuk terus berjuang melawan ketidakadilan, meskipun terasa tidak mungkin.

Kisah Nyai Ontosoroh adalah potret ketidakadilan yang dialami perempuan pribumi dalam kolonialisme. Ia menunjukkan bahwa perempuan bisa mandiri dan berdaya, tetapi stigma sosial dan ketidakadilan struktural tetap menekan mereka. Dengan demikian, Nyai Ontosoroh menjadi simbol perlawanan terhadap sistem yang menindasnya.

Pram tak hanya sedang menyajikan kita sebuah kisah fiktif pra-kemerdekaan, tetapi ia juga memberikan kita sebuah pelajaran berharga. Kisah Minke dan Nyai Ontosoroh tak lain adalah bagian dari refleksi Pram terhadap keadaan sosial yang terjadi, penindasan berkepanjangan, sekaligus menjadi renungan bagi para pembacanya. Pram adalah salah satu penulis yang sangat percaya dengan kekuatan kata-kata. Dalam Bumi Manusia (1980) ia menulis “Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan”, mengajak kita untuk merefleksikan sebuah arti keadilan secara mendalam. Menurutnya keadilan bukanlah sebuah tujuan, melainkan sebuah perjalanan yang harus dimulai dari individu manusia itu sendiri. Seorang manusia tak akan bisa berlaku adil kepada sesamanya manakala tak bisa berbuat adil kepada dirinya sendiri.

Dalam karyanya Pram mengajak kita untuk memikirkan kembali terhadap eksistensi manusia. Menurutnya manusia tak akan terlahir sebagai seorang budak. Sudah sejatinya hak asasi terberi terhadap setiap insan sedari mereka dilahirkan. Jika dalam perjalanannya hak tersebut tak diberikan sebagaimana mestinya, maka hak tersebut harus selalu diperjuangkan. Pengalaman 14 tahun di pulau Buru sebagai tahanan orde baru memang menjadi refleksi dan memori yang terpatri di benak Pram. Hak asasi yang dengan sengaja dicabut oleh rezim yang berkuasa tak menjadikan Pram diam. Dia tetap melawan dengan pena dan kertas. Menulis untuk memberi kesadaran kepada generasi muda untuk terus berefleksi dan menjadi manusia yang selalu memanusiakan manusia.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama