Militer di Ruang Sipil

Oleh Bowo Arifin R. F. (PMII Komisariat Al-Ghozali Semarang) pada Senin, 10 Maret 2025 - 20.00 WIB




Sumber gambar: https://images.app.goo.gl/LA4jyzof65hdjFhe6





Militer di Ruang Sipil: Demi Keamanan atau Kekuasaan?

Sejarah sering kali berulang, bukan karena takdir, tetapi karena kelalaian manusia dalam belajar dari masa lalu. Reformasi 1998 adalah sebuah tonggak perlawanan terhadap dominasi militer dalam kehidupan sipil, menandai berakhirnya dwifungsi ABRI yang selama puluhan tahun telah mencengkeram birokrasi dan politik Indonesia. UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI pun lahir sebagai benteng supremasi sipil, memastikan bahwa militer kembali ke barak dan tidak lagi ikut campur dalam urusan sipil.

Namun, febuari menjadi momen yang meresahkan. DPR resmi memasukkan revisi UU TNI ke dalam Prolegnas Prioritas, membuka peluang bagi prajurit aktif untuk kembali menduduki jabatan sipil—sebuah langkah mundur yang mengingatkan kita pada bayang-bayang Orde Baru. Dalih yang diajukan pemerintah terdengar familiar: efisiensi birokrasi, stabilitas nasional, dan adaptasi terhadap ancaman modern. Tetapi pertanyaannya, benarkah ini tentang efisiensi, atau sekadar upaya melanggengkan kontrol militer dalam pemerintahan sipil? Jika sejarah mengajarkan sesuatu, maka pelajaran terbesarnya adalah bahwa militer yang masuk ke ranah sipil jarang mau pergi dengan sukarela. Revisi ini berpotensi menjadi pintu masuk bagi militerisasi pemerintahan, sebuah upaya halus untuk melemahkan supremasi sipil, dan jika dibiarkan tanpa kontrol, bisa berujung pada otoritarianisme terselubung. Apa yang terjadi di Turki pasca-kudeta 2016, Mesir setelah penggulingan Morsi, serta Myanmar di bawah junta militer 2021 menjadi pengingat bahwa demokrasi yang dibiarkan terbuka bagi campur tangan militer akan segera kehilangan maknanya.

Tulisan ini akan membedah revisi UU TNI dengan menggunakan Teori Otoritarianisme Juan Linz, yang menjelaskan bagaimana demokrasi dapat terkikis secara bertahap melalui dominasi aktor militer, serta Teori Hegemoni Antonio Gramsci, yang menunjukkan bagaimana negara menggunakan propaganda untuk membentuk opini publik guna menormalkan peran militer dalam birokrasi. Dengan membandingkan fenomena ini dengan pengalaman negara lain, kita akan melihat pola yang sama: kekuasaan militer yang meluas atas nama stabilitas, tetapi berujung pada demokrasi yang dikendalikan, atau bahkan dihancurkan.

Modernisasi atau Militerisasi?

Revisi UU TNI 2025 telah resmi masuk dalam Prolegnas Prioritas, menandai babak baru dalam relasi sipil-militer di Indonesia. Pemerintah mengklaim bahwa revisi ini bertujuan menyesuaikan kebijakan pertahanan dengan tantangan geopolitik, modernisasi militer, serta harmonisasi aturan dengan sektor lain seperti Polri dan ASN. Namun, di balik argumen teknokratis tersebut, revisi ini bukan sekadar perubahan administratif. Ia merupakan titik balik yang dapat menggeser keseimbangan kekuasaan, memperkuat dominasi militer dalam birokrasi, dan secara perlahan membuka jalan bagi otoritarianisme terselubung. Salah satu aspek paling kontroversial dari revisi ini adalah perluasan peran militer dalam jabatan sipil. Jika sebelumnya Pasal 47 UU TNI membatasi jabatan sipil bagi prajurit aktif hanya pada beberapa lembaga yang berhubungan dengan pertahanan, kini revisi ini menambahkan frasa yang lebih longgar:

"serta kementerian atau lembaga lain yang membutuhkan tenaga dan keahlian prajurit aktif sesuai dengan kebijakan Presiden."
 
Dengan kata lain, prajurit aktif kini bisa ditempatkan di hampir semua sektor pemerintahan, selamaPresiden menganggapnya perlu. Ini bukan hanya persoalan teknis. Ini adalah perubahan fundamental yang dapat menghapus batas antara sipil dan militer dalam pengelolaan negara. 

Jika kita melihat sejarah, pola seperti ini bukan hal baru. Militer yang diberi ruang lebih besar dalam birokrasi tidak pernah sekadar menjadi “mitra” sipil. Dalam sistem komando militer, hierarki dan kepatuhan adalah norma utama, yang bertentangan dengan prinsip demokrasi yang berbasis deliberasi, transparansi, dan akuntabilitas. Ketika lebih banyak perwira aktif menduduki jabatan sipil, kita tidak hanya berbicara soal efektivitas birokrasi, tetapi juga tentang bagaimana keputusan-keputusan politik semakin tunduk pada logika komando ketimbang kepentingan rakyat. Lebih jauh lagi, revisi ini menghapus larangan keterlibatan militer dalam bisnis, dengan dalih menciptakan sumber pendanaan alternatif bagi kesejahteraan prajurit dan operasional pertahanan. Ini bukan hanya kemunduran, tetapi kesalahan fatal. Sejarah membuktikan bahwa ketika militer diberikan akses ke dunia bisnis, yang terjadi bukan kemandirian ekonomi, melainkan terbentuknya oligarki militer yang sulit disentuh oleh mekanisme demokratis. Pada masa Orde Baru, militer bukan hanya aktor pertahanan, tetapi juga pemilik bisnis, pengendali sumber daya ekonomi, serta kekuatan politik yang tidak bisa dikontrol oleh sipil. Dengan dihapusnya larangan ini, bukan tidak mungkin kita sedang menyaksikan kembalinya jaringan ekonomi militer yang beroperasi tanpa transparansi dan akuntabilitas.

Tidak hanya itu, perluasan Operasi Militer Selain Perang (OMSP) dari 14 menjadi 19 tugas juga menjadi sorotan. Beberapa tugas tambahan yang diusulkan, seperti penanggulangan narkotika dan dukungan ketahanan pangan, menunjukkan bagaimana militer semakin diberikan peran dalam urusan sipil yang seharusnya berada di bawah kendali lembaga-lembaga non-militer. Pemerintah beralasan bahwa penambahan ini merupakan bagian dari respons terhadap ancaman multidimensi yang semakin kompleks. Namun, tanpa pengawasan yang ketat, perluasan OMSP dapat membuka ruang bagi TNI untuk semakin aktif dalam urusan domestik, mengaburkan batas antara fungsi pertahanan dan fungsi sipil, serta menciptakan ketidakseimbangan dalam sistem keamanan nasional. Jika revisi ini disahkan tanpa kontrol yang ketat, maka kita sedang berjalan menuju demokrasi yang hanya ada dalam bentuknya, tetapi kehilangan substansinya. Militerisasi birokrasi tidak akan terjadi secara tiba-tiba, melainkan melalui proses bertahap, di mana keputusan-keputusan negara secara perlahan mulai lebih dipengaruhi oleh struktur militer daripada mekanisme demokrasi yang sehat. Dalam situasi seperti ini, sipil bukan lagi pengendali utama, tetapi justru pihak yang semakin tergantung pada aktor-aktor bersenjata dalam pengambilan keputusan strategis.

Kondisi ini sejalan dengan analisis Linz (2000)), yang menjelaskan bahwa sistem otoriter tidak selalu lahir melalui kudeta atau perebutan kekuasaan secara eksplisit. Sebaliknya, otoritarianisme dapat berkembang perlahan melalui serangkaian kebijakan yang tampak sah secara hukum, tetapi pada dasarnya melemahkan institusi sipil dan memperkuat dominasi militer dalam pemerintahan. Jika kita menggunakan kerangka pemikiran Linz untuk membaca dampak revisi UU TNI, maka ada tiga pola yang tampak jelas.

Pertama, kontrol sipil terhadap militer semakin melemah. Dengan diperluasnya peran militer dalam birokrasi, mekanisme pengawasan terhadap TNI menjadi semakin longgar. Ketika militer tidak lagi sekadar alat pertahanan negara, tetapi juga bagian dari struktur pengambilan keputusan nasional, maka sipil kehilangan posisi dominannya sebagai pengendali utama kebijakan negara. Ini bukan lagi soal teknis. Ini adalah pergeseran politik yang mengubah keseimbangan kekuasaan secara fundamental. 

Kedua, masuknya prajurit aktif ke dalam birokrasi menciptakan jaringan politik militeristik. Militer bekerja dengan sistem komando, bukan deliberasi. Ketika lebih banyak perwira aktif duduk di posisi strategis dalam pemerintahan, keputusan-keputusan negara bisa semakin bergantung pada struktur komando militer, yang mengedepankan loyalitas hierarkis ketimbang akuntabilitas demokratis. Jika ini dibiarkan, maka yang terjadi bukan hanya militerisasi birokrasi, tetapi juga birokratisasi militer, di mana TNI bukan lagi hanya alat pertahanan, tetapi bagian dari mesin politik yang menentukan arah negara.

Ketiga, demokrasi tetap ada secara formal, tetapi pengambilan keputusan semakin terkonsentrasi di tangan elite militer. Ini adalah bentuk otoritarianisme terselubung, di mana demokrasi tampak berjalan—pemilu tetap ada, parlemen tetap berfungsi, media masih beroperasi—tetapi dalam praktiknya, keputusan-keputusan negara dikendalikan oleh kelompok yang semakin sulit disentuh oleh mekanisme demokrasi. Ketika ini terjadi, maka demokrasi yang kita kenal tidak benar-benar hilang, tetapi berubah menjadi sekadar formalitas yang kehilangan substansi demokratisnya.

Lihat bagaimana hal ini terjadi di Turki, Mesir, dan Myanmar. Di Turki, Presiden Erdogan menggunakan militer untuk memperkuat kontrolnya atas pemerintahan setelah kudeta 2016. Di Mesir, Abdel Fattah el-Sisi menempatkan perwira aktif dalam berbagai posisi strategis setelah kudeta 2013, yang pada akhirnya memperkuat dominasi militer dalam ekonomi dan politik. Sementara di Myanmar, keterlibatan militer dalam pemerintahan sipil akhirnya berujung pada kudeta 2021 yang menghancurkan demokrasi secara keseluruhan.

Jika Indonesia tidak ingin mengalami pola yang sama, maka revisi UU TNI harus diawasi dengan ketat, atau bahkan ditolak secara keseluruhan. Reformasi 1998 bukan sekadar perubahan hukum, tetapi sebuah konsensus bahwa militer harus tunduk pada supremasi sipil. Jika kita membiarkan batas ini terkikis, maka kita tidak sedang menjaga demokrasi—kita sedang menyaksikan kemundurannya, perlahan tapi pasti. Dan yang lebih berbahaya? Kita mungkin baru menyadarinya ketika semuanya sudah terlambat.

Hegemoni Militer dalam Narasi Publik: Normalisasi Keterlibatan Militer

Revisi UU TNI 2025 bukan sekadar perubahan hukum yang berdampak pada struktur birokrasi, tetapi juga bagian dari strategi politik yang lebih dalam: membentuk opini publik agar keterlibatan militer dalam jabatan sipil dianggap sebagai sesuatu yang wajar, bahkan perlu. Jika narasi ini terus berkembang tanpa perlawanan, Indonesia tidak hanya menghadapi kemunduran demokrasi, tetapi juga pergeseran struktur politik ke arah sistem yang lebih militeristik, di mana batas antara sipil dan militer semakin kabur. Dalam konsep hegemoni budaya Antonio Gramsci 1891-1937 (n.d.), dominasi politik tidak selalu dilakukan dengan pemaksaan atau kekerasan fisik, tetapi juga melalui penguasaan wacana dan pembentukan kesadaran kolektif. Negara tidak perlu memerintahkan rakyatnya untuk menerima peran militer dalam birokrasi sipil; cukup dengan menciptakan narasi yang membentuk persepsi bahwa hal ini adalah sesuatu yang normal, bahkan solusi bagi berbagai masalah nasional (Siswati, 2018).

Narasi yang paling sering digunakan adalah bahwa militer lebih disiplin, profesional, dan bebas dari korupsi dibandingkan pejabat sipil. Militer digambarkan sebagai lembaga yang bekerja cepat, tidak banyak bicara, dan berorientasi pada hasil, berlawanan dengan stereotip birokrasi sipil yang dianggap lamban, penuh kompromi politik, dan sering kali korup. Dengan membandingkan dua institusi ini secara tidak seimbang, masyarakat perlahan-lahan diyakinkan bahwa memasukkan lebih banyak prajurit aktif ke dalam birokrasi adalah solusi yang masuk akal. Masalahnya, asumsi ini tidak hanya simplistis tetapi juga tidak berdasar secara historis. Efektivitas militer dalam menjalankan tugasnya tidak bisa begitu saja diterjemahkan ke dalam birokrasi sipil, yang memiliki logika kerja yang sangat berbeda. Militer dibangun di atas hierarki komando yang kaku, di mana keputusan dibuat secara top-down dan bawahan wajib patuh tanpa banyak diskusi. Sebaliknya, birokrasi sipil yang sehat seharusnya berjalan berdasarkan deliberasi, transparansi, dan akuntabilitas kepada publik—tiga hal yang justru sulit ditemukan dalam struktur militer. Klaim bahwa militer lebih bersih dari korupsi juga tidak bertahan jika diuji dengan fakta. Sejarah Orde Baru memberikan cukup banyak bukti bagaimana bisnis militer menciptakan oligarki yang mengakar, dengan jaringan ekonomi yang sulit disentuh oleh mekanisme pengawasan negara. Tanpa sistem pengawasan yang kuat, keterlibatan militer dalam sektor sipil justru berisiko menciptakan struktur kekuasaan baru yang lebih eksklusif dan tidak akuntabel.

Kasus Mayor Teddy Indra Wijaya, yang dilantik menjadi Sekretaris Kabinet (Seskab) oleh Presiden Prabowo Subianto, menunjukkan bagaimana strategi hegemoni ini mulai bekerja dalam praktik nyata. Mayor Teddy diangkat ke posisi sipil strategis meskipun Pasal 47 Ayat (1) UU TNI secara tegas melarang prajurit aktif menduduki jabatan sipil kecuali setelah pensiun atau mengundurkan diri. Pengangkatan ini kemudian dibenarkan dengan dalih perubahan nomenklatur jabatan, seolah-olah hukum bisa diinterpretasikan secara fleksibel sesuai dengan kepentingan politik penguasa. Jika tindakan seperti ini terus terjadi, kita tidak hanya menghadapi pelanggaran hukum yang dilakukan secara terang-terangan, tetapi juga normalisasi atas praktik tersebut di mata publik. Ketika rakyat dibiarkan percaya bahwa seorang perwira aktif bisa saja menduduki jabatan sipil selama ada “situasi khusus” yang membenarkannya, maka bukan tidak mungkin dalam beberapa tahun ke depan kita akan melihat lebih banyak perwira aktif yang menduduki posisi sipil tanpa prosedur yang benar, hanya karena memiliki kedekatan dengan kekuasaan.

Yang lebih berbahaya, ketika militerisasi pemerintahan sudah dianggap normal, setiap kritik terhadapnya akan diperlakukan sebagai ancaman terhadap stabilitas nasional atau bahkan dianggap sebagai sikap anti-nasionalis. Strategi ini bukan hal baru—rezim-rezim otoriter di berbagai negara telah lama menggunakan nasionalisme sebagai alat untuk membungkam oposisi. Kritik terhadap kebijakan negara sering kali dicap sebagai pengkhianatan terhadap kepentingan bangsa, sehingga masyarakat yang awalnya kritis menjadi takut untuk bersuara. Dalam konteks Indonesia, kita sudah mulai melihat bagaimana nasionalisme digunakan sebagai justifikasi atas keputusan politik yang melanggar prinsip demokrasi. Pengangkatan Mayor Teddy misalnya, selain dibela dengan alasan teknis, juga dibalut dengan narasi loyalitas dan pengabdian kepada negara. Jika kritik terhadap keputusan ini dianggap sebagai serangan terhadap institusi TNI atau bahkan negara itu sendiri, maka kita sedang berada di jalur yang berbahaya—jalur yang membawa kita kembali ke masa di mana militer tidak hanya menjadi alat pertahanan negara, tetapi juga kekuatan politik yang tidak tersentuh oleh kontrol sipil.

Jika strategi hegemoni ini berhasil, maka dalam beberapa tahun ke depan, kita mungkin tidak lagi melihat dominasi militer dalam birokrasi sebagai ancaman, tetapi sebagai sesuatu yang wajar dan bahkan diinginkan. Militerisasi pemerintahan akan dianggap sebagai solusi bagi permasalahan negara, bukan sebagai ancaman terhadap demokrasi. Kritik terhadap revisi UU TNI akan semakin sulit dilakukan, karena setiap kritik akan dibalas dengan narasi stabilitas dan nasionalisme. Pada akhirnya, yang dipertaruhkan bukan hanya masalah teknis mengenai siapa yang boleh dan tidak boleh menduduki jabatan sipil, tetapi arah masa depan demokrasi Indonesia itu sendiri. Jika kita tidak ingin terjebak dalam sistem yang semakin terkendali oleh aktor militer, maka kita harus melawan setiap upaya untuk menormalkan keterlibatan militer dalam ranah sipil. Demokrasi tidak hanya soal pemilu—demokrasi juga tentang memastikan bahwa negara dijalankan oleh mereka yang memiliki akuntabilitas kepada rakyat, bukan oleh mereka yang hanya tunduk pada komando atasannya.

Demokrasi di Persimpangan Jalan

Revisi UU TNI 2025 bukan sekadar perubahan administratif, melainkan uji coba batas demokrasi. Ini bukan hanya soal perluasan peran militer dalam jabatan sipil, tetapi juga soal siapa yang sebenarnya akan mengendalikan negara di masa depan. Jika revisi ini disahkan tanpa pengawasan ketat, Indonesia akan memasuki era di mana militer tidak lagi sekadar alat pertahanan negara, tetapi aktor politik utama yang beroperasi di luar mekanisme demokrasi.

Ancaman pertama yang tidak bisa diabaikan adalah melemahnya supremasi sipil. Demokrasi yang sehat menempatkan militer di bawah kendali otoritas sipil yang dipilih oleh rakyat. Namun, jika revisi ini berlaku, perwira aktif tidak lagi hanya menjadi pelaksana kebijakan pertahanan, tetapi juga pembuat keputusan di ranah sipil. Konsekuensinya? Birokrasi semakin tunduk pada logika komando militeristik yang mengutamakan kepatuhan dan hierarki dibanding transparansi dan deliberasi demokratis.

Bahaya lain yang mengintai adalah kembalinya oligarki militer. Ketika prajurit aktif diperbolehkan mengelola bisnis dan menduduki jabatan strategis di pemerintahan, maka kita sedang membuka jalan bagi militer menjadi kekuatan politik-ekonomi yang sulit disentuh oleh hukum dan mekanisme pengawasan publik. Sejarah menunjukkan bahwa ketika militer memiliki akses terhadap sumber daya ekonomi, mereka tidak hanya menjadi penjaga negara, tetapi juga pemain utama dalam jaringan kekuasaan yang beroperasi tanpa akuntabilitas.  Pada akhirnya, pertanyaannya bukan sekadar apakah militer boleh atau tidak masuk ke birokrasi sipil, tetapi apakah kita rela menyerahkan masa depan demokrasi kepada struktur kekuasaan yang tidak tunduk pada kontrol publik? Jika kita diam hari ini, jangan kaget jika suatu saat nanti kita bangun di negara yang masih menyebut dirinya demokrasi, tetapi dijalankan oleh tangan-tangan yang tidak pernah dipilih oleh rakyat.



--------------------------------------------------------------





Referensi


Gramsci 1891-1937, A. (n.d.). Selections from the prison notebooks of Antonio Gramsci. [First edition]. New York : International Publishers, [1971] [©1971]. https://search.library.wisc.edu/catalog/999473246802121.

Linz, J. J. (2000). Totalitarian and Authoritarian Regimes. In Totalitarian and Authoritarian Regimes. https://doi.org/10.1515/9781685850043.

Siswati, E. (2018). ANATOMI TEORI HEGEMONI ANTONIO GRAMSCI. Translitera : Jurnal Kajian Komunikasi Dan Studi Media, 5(1). https://doi.org/10.35457/translitera.v5i1.355.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama