Oleh Farkhan Fardian Syah (PMII Rayon M Zamroni, Komisariat Al-Ghozali Semarang) pada Senin, 25 Agustus 2025 - 16.40 WIB
![]() |
Foto Asghar Ali Engineer (Sumber: tafsiralquran.id/Misbah Hudri) |
Wacana mengenai Islam Kiri lahir dari semangat kritik terhadap dominasi sistem sosial yang timpang, ketidakadilan struktural, serta kegagalan institusi keagamaan dalam merespons penderitaan manusia. Pemikiran Islam Kiri tampil sebagai upaya rekonstruksi terhadap makna iman, wahyu, dan keadilan sosial di tengah arus fundamentalisme dan dogmatisme keagamaan yang cenderung mereduksi ajaran Islam menjadi sekadar ritual formalistik. Salah satu figur sentral dalam diskursus ini adalah Asghar Ali Engineer, seorang intelektual Muslim Progresif asal India yang secara konsisten membumikan Islam sebagai kekuatan emansipatoris bagi mereka yang terpinggirkan.
Engineer menolak pendekatan teologis yang ahistoris dan stagnan. Asghar Ali Engineer menawarkan alternatif pembacaan terhadap Al-Qur’an dengan menekankan dimensi etis dan sosial dari wahyu sebagai dasar bagi perubahan struktural dalam masyarakat. Islam dalam pandangannya tidak cukup hanya menyelamatkan jiwa, tetapi juga harus hadir dalam perjuangan membela hak-hak kelompok marjinal. Pandangan-pandangan inilah yang kemudian membuka ruang bagi perumusan teologi pembebasan dalam Islam, sebuah formulasi yang menggabungkan spiritualitas, keberpihakan, dan aktivisme politik dalam satu kesatuan yang kohesif. Pemikiran ini tidak berdiri sendiri, tetapi menemukan resonansi yang signifikan dalam gerakan sosial keislaman, seperti yang dikembangkan oleh Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) melalui konstruksi Aswaja transformatif.
Tulisan ini bertujuan membedah secara kritis konstruksi pemikiran Islam Kiri versi Asghar Ali Engineer, dengan mendialogkannya bersama teologi klasik Islam serta praksis sosial yang berkembang dalam tubuh PMII. Fokus utamanya adalah menggambarkan bagaimana nilai-nilai pembebasan yang ditawarkan Engineer memiliki kesinambungan teologis dan praksis dengan semangat perubahan yang digerakkan PMII, terutama melalui dokumen-dokumen seperti Sekolah Aswaja. Kesamaan visi tersebut tidak terlepas dari konstruksi pemikiran Engineer yang lahir dari pengalaman sosialnya sebagai bagian dari komunitas yang mengalami penindasan dan ketimpangan struktural.
Latar belakang sosial-politik Engineer memainkan peran signifikan dalam pembentukan kerangka pemikirannya. Lahir dari komunitas Syiah Bohra yang hierarkis dan otoriter, Engineer mengalami langsung bagaimana institusi agama dapat menjadi alat pelanggeng kekuasaan dan ketimpangan. Pendidikan teknik sipil yang ia tempuh di India tidak membatasi kegelisahan intelektualnya. Justru pengalaman hidup dan kerja aktivismenya membawanya pada kesimpulan bahwa agama yang diam terhadap ketidakadilan adalah agama yang telah kehilangan ruhnya.
Karya-karya Engineer menunjukkan orientasi pada pembacaan kontekstual terhadap Al-Qur’an, dengan menolak penafsiran literal yang membelenggu. Ia memahami wahyu sebagai produk dialog transendental dalam ruang sosial yang konkret. Oleh sebab itu, memahami Al-Qur’an harus dilakukan dengan menyertakan kesadaran sejarah, struktur kuasa, dan kepentingan manusia. Teologi pembebasan yang ia gagas menjadi jawaban atas krisis kemanusiaan yang justru sering dilegitimasi oleh tafsir-tafsir konservatif atas agama. Tafsir yang tidak peka terhadap dinamika sosial sering kali mengukuhkan status quo dan mengabaikan dimensi emansipatoris Islam. Oleh karena itu, pendekatan yang ditawarkan Engineer tidak hanya bersifat teoretis, tetapi juga menuntut keterlibatan aktif dalam pembacaan ulang terhadap fondasi ajaran Islam.
Teologi pembebasan versi Engineer berangkat dari premis bahwa wahyu tidak hadir dalam kekosongan sosial. Wahyu justru berfungsi sebagai intervensi moral atas ketimpangan zaman. Al-Qur’an, menurutnya, adalah seruan keadilan bagi mereka yang tertindas dan terabaikan. Dengan demikian, membaca wahyu berarti membaca realitas, dan memahami agama berarti memahami struktur ketidakadilan yang harus dilawan. Engineer menyusun fondasi teologi pembebasannya melalui empat prinsip utama: keadilan sebagai inti ajaran Islam; konteks sosial sebagai kerangka tafsir; kesetaraan gender dan pluralisme sebagai kebutuhan moral; serta penolakan terhadap segala bentuk teokrasi yang menindas. Agama tidak boleh menjadi alat justifikasi kekuasaan, tetapi harus menjadi sumber inspirasi moral yang membela kehidupan. Dalam perspektif ini, Islam adalah proyek peradaban yang terus-menerus diperbarui sesuai dengan tantangan zaman.
Teologi ini sekaligus menjadi kritik terhadap kecenderungan umat Islam yang menjadikan agama sebagai simbol kultural, tetapi tidak menjadikannya sebagai pijakan etis dalam kehidupan sosial. Engineer menekankan bahwa iman yang sejati adalah iman yang bekerja: membela yang tertindas, menghapus diskriminasi, serta menolak kemapanan yang eksploitatif. Pandangan ini tidak lahir secara terpisah dari konstruksi teologisnya, melainkan berakar kuat pada pemaknaan ulang terhadap konsep-konsep dasar dalam teologi Islam. Salah satu pilar pemikiran Engineer adalah reinterpretasi terhadap konsep tauhid dan keadilan Tuhan. Ia mengkritik pemahaman tradisional yang hanya melihat tauhid secara metafisik, sebagai pengesaan Tuhan yang berhenti pada aspek ritual. Engineer menawarkan pemaknaan baru: tauhid adalah pernyataan politik dan sosial bahwa tidak ada kekuasaan absolut kecuali Tuhan. Oleh karena itu, setiap dominasi manusia atas manusia lain, atas nama apapun, adalah bentuk pelanggaran terhadap tauhid.
Keadilan Tuhan bukan merupakan justifikasi atas penderitaan manusia, melainkan menjadi dasar etis bagi manusia untuk membela pihak-pihak yang mengalami penindasan. Engineer dalam hal ini mengadopsi kerangka rasionalis dari tradisi Muktazilah dan Maturidiyah yang menekankan pentingnya peran akal dan kebebasan manusia dalam memahami ajaran agama. Tauhid dan keadilan bukan semata dogma, tetapi mandat moral untuk memperjuangkan tatanan masyarakat yang setara dan bermartabat.
Engineer dalam penafsirannya memandang bahwa kekhalifahan manusia tidak cukup dipahami sebagai status simbolik semata, melainkan harus dimaknai sebagai tanggung jawab historis untuk membangun peradaban yang lebih adil dan manusiawi. Spiritualitas tanpa aksi sosial, bagi Engineer, adalah ilusi belaka. Pandangan ini secara logis mengantarkan pada kritik tajamnya terhadap bentuk keberagamaan yang bersifat kaku dan eksklusif, seperti fundamentalisme Engineer menjadi salah satu pengkritik paling vokal terhadap fundamentalisme Islam. Asghar Ali Engineer memandang dalam penafsirannya bahwa kekhalifahan manusia bukan sekadar status simbolik, melainkan harus dimaknai sebagai tanggung jawab historis untuk membangun peradaban yang lebih adil dan manusiawi. Alih-alih membebaskan, fundamentalisme justru mereproduksi pola kekuasaan yang menindas, baik terhadap perempuan, kelompok minoritas, maupun kelas sosial bawah.
Pandangan Engineer, agama bukanlah institusi eksklusif yang dimonopoli oleh segelintir elite. Agama adalah ruang perjumpaan nilai-nilai transenden dan perjuangan manusia. Oleh karena itu, ia mendorong pembacaan Islam yang pluralis, terbuka, dan sensitif terhadap perbedaan. Dalam perspektifnya, pluralisme bukanlah sekadar toleransi pasif, tetapi merupakan bagian inheren dari keimanan yang sejati.
Relevansi Pemikiran Engineer dengan Nilai PMII
Aswaja dalam Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) menjelaskan bahwa Aswaja bukan semata sistem keyakinan, melainkan paradigma berpikir dan bertindak yang menekankan nilai-nilai tawasuth (moderat), tasamuh (toleran), ta’adul (adil), dan tawazun (seimbang). PMII tidak hanya mengadopsi Aswaja sebagai identitas, tetapi sebagai perangkat metodologis untuk menjawab persoalan ketimpangan sosial, eksploitasi struktural, serta fundamentalisme keagamaan. Pemikiran Engineer sangat beririsan dengan narasi ideologis PMII. Keduanya sama-sama menjadikan keadilan sebagai jantung dari iman. Menurut Engineer, teologi memiliki kewajiban untuk menegaskan keberpihakan terhadap kaum mustadh’afin sebagai bentuk tanggung jawab moral agama. Hal ini senada dengan posisi PMII yang mengembangkan Aswaja sebagai basis gerakan yang menolak ketimpangan dan ketertindasan dalam berbagai bentuknya.
PMII menjadikan Aswaja sebagai Manhaj Al-Harokah yang terbuka terhadap perubahan sosial dan berpihak pada keadilan, sehingga tidak hanya mereproduksi tradisi, tetapi juga mentransformasikannya secara kontekstual dan progresif. Pemikiran Asghar Ali Engineer pada akhirnya memberikan fondasi konseptual yang kokoh bagi gerakan Islam Progresif yang bersumber dari nilai-nilai teologis Islam. Fondasi ini kemudian berkembang menjadi kerangka berpikir yang melahirkan gerakan Islam Kiri versi Engineer, yang menampilkan wajah Islam yang egaliter, inklusif, dan progresif yakni Islam yang berpihak pada keadilan sosial, menolak segala bentuk penindasan, serta mendorong transformasi masyarakat berdasarkan prinsip-prinsip kemanusiaan dan keberagamaan yang reflektif. Dengan merekonstruksi tauhid sebagai penolakan terhadap segala bentuk penindasan, dan keadilan Tuhan sebagai mandat etis untuk bertindak, Engineer menunjukkan bahwa iman sejati tidak cukup berhenti pada pengakuan, melainkan harus diwujudkan dalam keberpihakan sosial. Teologinya menolak pemisahan antara agama dan perjuangan, antara iman dan keadilan.
Pemikiran ini menemukan ruang yang subur dalam konteks Indonesia, khususnya di lingkungan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Melalui Aswaja Transformatif, Islam hadir tidak hanya sebagai warisan teologis, tetapi sebagai kekuatan perubahan. Oleh karena itu, Islam Kiri ala Engineer bukanlah oposisi terhadap ortodoksi, melainkan penegasan terhadap dimensi etis-prophetik Islam yang sejati, yakni agama yang membebaskan, menghidupkan, dan membela martabat manusia.
-----------------
Referensi