Ketika Pena Lebih Tajam dari Senjata: Menulis sebagai Perlawanan

Oleh Muhammad Gumilar Mulyana (PMII Komisariat Al-Ghozali Semarang) pada Selasa, 26 Agustus 2025 - 16.25 WIB


Ilustrasi Menulis sebagai Bentuk Perlawanan (Foto dibuat dengan AI)



Mungkin, banyak di antara kita yang sering mendengar sebuah ungkapan: “Jika mulutmu dibungkam, maka berbicaralah melalui tulisan”. Ungkapan itu mungkin terdengar sederhana dan biasa saja. Namun, di balik itu, mengandung sebuah kekuatan besar dan penuh makna. Menulis, yang biasanya kita anggap sebagai aktivitas "sepele", yang hanya menuangkan kata-kata di atas secarik kertas atau sebuah layar, ternyata dapat menjelma sebagai alat perlawanan yang lebih ampuh daripada senjata. Perlawanan tidak selalu berarti perang angkat senjata maupun turun aksi ke jalan. Perlawanan bisa dilakukan juga melalui cara yang halus, senyap, namun dapat menciptakan dampak yang besar. Itulah yang disebut “cara melawan lewat tulisan”.

Sejak dahulu, menulis bukan hanya sekadar mencatat peristiwa-peristiwa yang kemudian menjadi sebuah sejarah. Namun, menulis juga dilakukan sebagai cara untuk melawan ketidakadilan. Kita bisa menapaki jejak para tokoh pejuang kemerdekaan kita ketika era kolonial dulu. Mereka menjadikan tulisan sebagai sebuah instrumen untuk membangkitkan kesadaran rakyat terhadap penindasan. Nama-nama seperti Tirto Adhi Soerjo dan Tan Malaka, merupakan tokoh pejuang kemerdekaan yang memanfaatkan tulisan sebagai alat untuk melawan dominasi kolonial. Selain itu, Sutan Sjahrir dan Bung Karno pun melakukan hal yang sama, yaitu menyebarkan ide perlawanan melalui tulisan.

Tulisan-tulisan mereka, tidak hanya mengkritik pemerintahan kolonial kala itu. Namun, tulisan mereka juga memberikan arah bagi perjuangan bangsa. Mereka menjadikan tulisan sebagai senjata yang sulit direbut dan dihentikan. Meski pada akhirnya, tarian pena mereka dihentikan paksa oleh pemerintah kolonial. Namun, gagasan-gagasannya yang telah tertuang, dapat terus hidup dan tertanam hingga lintas generasi.

Seorang novelis terkemuka, yaitu George Orwell, ia pernah berkata “If liberty means anything at all, it means the right to tell people what they do not want to hear” (Jika kebebasan berarti sesuatu, maka itu adalah hak untuk mengatakan kepada orang-orang hal-hal yang tidak ingin mereka dengar). Maksudnya, kebebasan sejati bukan sekadar bicara hal-hal yang disukai banyak orang, tetapi juga berani menyuarakan kebenaran meskipun tidak nyaman atau tidak menyenangkan bagi sebagian pihak. Menulis merupakan salah satu cara untuk mewujudkan kebebasan itu. Dengan menulis, kita dapat menyuarakan hal-hal yang dianggap tidak nyaman oleh para penguasa dan kelompok dominan.

Menulis sebagai Perlawanan terhadap Lupa

Sejarah ditulis oleh para pemenang. Mungkin itu merupakan sebuah ungkapan yang sering kita dengar. Para penguasa sering kali menulis sejarah berdasar dari apa yang menurut mereka benar. Padahal, di balik itu, terdapat banyak kisah yang hilang, disembunyikan, atau bahkan sengaja dihapuskan. Menulis merupakan salah satu cara melawan hal itu. Melalui tulisan, kita dapat mengungkapkan kebenaran-kebenaran yang tidak diungkap dan coba disembunyikan oleh narasi besar yang diciptakan penguasa.

Pramoedya Ananta Toer telah melakukan hal itu. Ia menulis untuk perlawanan. Karya-karyanya mengandung sejarah dari perspektif orang-orang yang tertindas, serta tidak pernah didengar suaranya oleh para penguasa. Pram membuktikan, melalui tulisan, kita bisa merawat ingat dan menolak lupa akan kebenaran sejarah-sejarah yang tak pernah diungkap oleh penguasa.

Meski sekarang Pramoedya telah tiada, karya-karyanya tetap hidup hingga kini. Orang-orang masih menggemari karya-karyanya. Hal ini sekaligus membuktikan bahwa menulis merupakan jalan menuju keabadian. Seperti yang pernah Pram katakan: “Menulis adalah bekerja untuk keabadian”.

Menulis sebagai Perlawanan terhadap Ketidakadilan

Selain bentuk perlawanan menolak lupa, menulis juga merupakan bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan. Sebagai contohnya yaitu seperti yang dilakukan oleh seorang jurnalis. Jurnalis menggunakan tulisan sebagai alat melawan ketidakadilan. Jurnalis menulis mengenai berita-berita investigasi guna membongkar kasus korupsi, kasus pelanggaran HAM, ataupun  kasus penyalahgunaan kekuasaan. Itulah bukti bahwa menulis dapat menjadi bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan. Meskipun resiko yang dihadapi sangatlah besar, namun struktur kekuasaan dapat tergoyah melalui tulisan-tulisan yang mengganggu ketidaknyamanannya.

Bukan hanya jurnalis saja yang bisa melawan ketidakadilan melalui tulisan. Kita pun sebenarnya bisa melakukan juga. Sebagai contoh, ketika kita menulis thread di Twitter (X), menulis di unggahan Facebook, menulis esai di blog pribadi, ataupun sekadar menulis di instastory dan postingan Instagram. Melalui media itu, kita bisa menjadikan tulisan sebagai bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan. Mulai dari berpendapat soal isu lingkungan, kebobrokan demokrasi, hingga kritikan terhadap hal-hal kecil seputar buruknya pelayanan publik. Dengan menulis, kita bisa menyoroti permasalahan, ikut serta berpendapat, berpartisipasi dalam membentuk kesadaran, hingga tercipta sebuah perubahan. Meski partisipasinya terasa kecil, namun percayalah, ketika menemukan momentumnya, maka partisipasi itu dapat membentuk kesadaran menuju perubahan.

Menulis Adalah Tindakan, Bukan Sekadar Kata-kata

Mungkin sebagian besar kalangan masyarakat masih meremehkan sebuah tulisan. Bagi mereka, “Tulisan tidak dapat mengubah apa-apa”. Namun, fakta sejarah membantah anggapan itu. Tulisan dapat menjadi pancalan menuju revolusi. Tulisan dapat mengubah hukum, bahkan ia mampu mengguncang struktur sosial. Selain itu, dalam lingkup kecil, tulisan dapat mengubah cara pandang seseorang melihat dunia.

Memang benar, satu tulisan tidak langsung begitu saja menciptakan perubahan. Namun, pada dasarnya, sebuah tulisan ialah benih. Benih yang bisa tumbuh dengan perlahan, dan terkadang pertumbuhannya senyap dan tidak menarik perhatian. Namun, di suatu saat, benih itu pasti akan tumbuh menjadi pohon yang besar dan kuat. Pohon yang kokoh dan punya akar yang kuat. Menulis ialah melawan dengan kesabaran. Setiap tulisan merupakan bentuk perlawanan kecil yang bila dikumpulkan dan diberi waktu, maka akan menjadi sebuah gerakan besar.

Menulis ialah jalan perlawanan. Tulisan dapat menjadi bentuk perlawanan terhadap lupa dan ketidakadilan. Selain itu, dengan menulis, dominasi narasi besar penguasa dapat ditandingi dengan narasi orang-orang yang terpinggirkan. Era distraksi saat ini, menulis merupakan cara menjaga kewarasan untuk selalu mengingat dan menjaga bara perlawanan.

Semua orang tidak harus menulis buku besar, artikel ilmiah panjang, maupun menulis karya ilmiah seperti skripsi, tesis, ataupun disertasi, untuk melakukan sebuah perlawanan. Perlawanan melalui tulisan bisa dimulai dari ranah yang kecil. Melalui catatan ringan, sebuah esai sederhana, dan sebuah opini di media sosial, semua itu dapat dijadikan sebuah bentuk perlawanan. Yang terpenting ialah keberanian untuk menulis.

Pramoedya Ananta Toer pernah berkata: “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang ditelan sejarah”. Maka dari itu, Menulislah! Menulis bukan hanya merangkai kata-kata. Namun, ia lebih dari itu. Menulis ialah sebuah jalan perlawanan menuju perubahan.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama