Oleh Muhammad Gumilar Mulyana (PMII Komisariat Al-Ghozali Semarang) pada Kamis, 28 Agustus 2025 - 01.37 WIB
![]() |
Ilustrasi Pergerakan Mahasiswa (Foto dibuat dengan AI) |
Bagi mahasiswa hari ini, teknologi telah menyatu ke dalam denyut pergerakannya. Kita bisa melihat dari maraknya akun-akun media sosial milik kalangan mahasiswa yang meliput atau sekadar membagikan momen-momen ketika berlangsungnya aksi demonstrasi.
Akun-akun di Instagram seperti @bara.pergerakan, @mahasiswa_bergerak, @bangsamahardika, merupakan bukti dari sekian banyaknya akun media sosial yang selalu memberitakan dan menyuarakan seputar pergerakan mahasiswa saat ini. Hal ini menunjukkan bahwa pergerakan mahasiswa telah merambah masuk ke dunia teknologi, dan tidak sebatas pada aksi-aksi demonstrasi yang menampilkan orasi berapi-api.
Pergerakan mahasiswa di Indonesia, punya sejarah panjang bagi perubahan-perubahan sosial yang telah terjadi. Aksi-aksi demonstrasi yang berlangsung sejak era 1966, 1998, hingga saat ini, menunjukkan bahwa mahasiswa selalu hadir guna menjadi garda depan dalam menyampaikan kritik-kritik sosial. Namun, seiring berkembangnya teknologi, apalagi perkembangan teknologi digital seperti saat ini, pola pergerakan mahasiswa telah mengalami metamorfosis.
Media sosial menjadi ruang baru yang dimanfaatkan mahasiswa sebagai sarana untuk bersuara. Media sosial seperti TikTok, Instagram, hingga Twitter (X), telah ditransformasikan oleh mahasiswa sebagai ruang untuk menyebarkan wacana dan advokasi. Spanduk-spanduk telah mengalami tranformasi menjadi poster-poster digital. Tagar-tagar (#) bertema kritik sosial, telah menggema bagaikan teriakan-teriakan kritik. Siaran-siaran langsung (live streaming) telah menggantikan peran media konvensional sebagai penyampai berita demonstrasi yang “up to date”.
Melalui teknologi, mahasiswa dapat menuangkan idenya sekaligus menyebarkannya kepada khlayak luas dengan cepat. Selain itu, teknologi pun telah dimanfaatkan sebagai sarana penggalangan solidaritas lintas kampus, bahkan masyarakat. Partisipasi publik pun dapat tersambungkan dengan dunia aktivisme, yang mana hal ini tentu sulit dilakukan ketika teknologi belum semaju seperti sekarang.
Dari sinilah, teknologi telah membuka peluang bagi dunia pergerakan mahasiswa. Teknologi dapat memperluas jangkauan pergerakan mahasiswa dalam menyuarakan argumennya, tanpa perlu memikirkan sekat ruang dan waktu.
Dinamika dan Tantangan
Pada faktanya, pergerakan mahasiswa dalam ruang-ruang digital tetap tak dapat terhindar dari tantangan dan permasalahan. Derasnya arus informasi di ruang digital, membuat pergerakan mahasiswa tak dapat mengontrol arus tersebut. Di satu sisi, dengan derasnya arus informasi, dapat membantu mahasiswa dalam mempercepat koordinasi gerakan. Di sisi lainnya, derasnya arus informasi dapat membuka ruang masuk bagi maraknya berita hoaks, agitasi yang dangkal, hingga terciptanya polarisasi.
Dari sinilah kritik dari Noam Chomsky terasa relevan. Dalam bukunya yang berjudul Manufacturing Consent (1988), yang ditulis Chomsky bersama Edward Herman, menjelaskan bahwa media sering digunakan untuk menciptakan “persetujuan” massa agar sesuai dengan kepentingan pihak penguasa. Pada dasarnya, media itu tidak netral, ia dapat menjadi alat dominasi penguasa.
Pada konteks teknologi saat ini, media digunakan untuk mengarahkan opini publik kepada kepentingan tertentu. Melalui algoritma media sosial, kepemilikan platform digital, hingga pola distribusi informasi, tanpa disadari semua itu telah mempengaruhi opini publik secara halus.
Bagi dunia pergerakan mahasiswa, hal ini merupakan tantangan dan permasalahan yang serius. Pergerakan mahasiswa sering kali berharap menjadi sebuah “trending topic” yang cepat viral lalu hilang begitu saja, tanpa memikirkan jangka panjang dan konsistensi gerakan. Memang benar, apabila menjadi “trending topic”, gerakan mahasiswa di ruang digital bisa menjadi bising dan ramai. Namun, perlu juga disadari, tanpa diiringi oleh analisis kritis dan langkah yang strategis, pergerakan tersebut hanya akan menciptakan dampak yang minim bagi perubahan sosial.
Integrasi Offline dan Online
Pergerakan mahasiswa di era digital seperti saat ini dituntut untuk memadukan aksi offline dan aksi online. Tagar-tagar yang muncul di Twitter (X), mungkin itu bisa menjadi pemantik sebuah diskusi-diskusi mengenai kritik sosial. Namun, di sisi lain, aksi turun ke jalan tetap diperlukan guna memberikan daya tekan kepada para penguasa, hingga akhirnya dapat terjadi sebuah negosiasi politik, yang mana hal itu memerlukan aksi secara langsung, bukan hanya melalui ruang-ruang digital. Dari sinilah, dapat dilihat peran penting mahasiswa sebagai perantara antara masyarakat dan penguasa.
Mahasiswa hidup di dunia nyata dengan segala kompleksitasnya. Namun, ia juga hidup di dunia maya dengan segala kecepatan arus informasinya. Apabila mahasiswa dapat memadukan gerakan di dunia nyata dan dunia maya, maka kekuatan dari sebuah gerakan akan menjadi kokoh dan konsisten.
Mengingat apa yang terjadi beberapa tahun terakhir, banyak gerakan mahasiswa yang dimulai dari ruang-ruang digital. Mulai dari seruan untuk menolak RUU bermasalah, hingga seruan solidaritas terhadap isu-isu pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dan isu-isu lingkungan. Hal itu dapat dilihat sebagai bukti bahwa mahasiswa mampu memanfaatkan kemajuan teknologi sebagai sarana konsolidasi.
Teknologi sebagai Alat Pemberdayaan
Selain itu, teknologi juga dapat dijadikan mahasiswa sebagai alat pemberdayaan intelektual. Segala akses ke e-journal, big data, hingga forum-forum akademik tingkat dunia, dapat membantu mahasiswa untuk memperkuat argumen dasarnya dalam melakukan sebuah gerakan. Berkat teknologi, mahasiswa dapat lebih mudah dalam melakukan riset. Ditambah, mahasiswa juga dapat memperkokoh jaringan solidaritasnya dan menciptakan sebuah kolaborasi dengan jangkauan massa yang lebih luas.
Teknologi juga dapat mempermudah mahasiswa dalam menjalankan perannya sebagai agen literasi. Di tengah maraknya kasus penyebaran hoaks seperti sekarang, mahasiswa dapat menjadi garda depan dalam mengedukasi masyarakat. Mahasiswa dapat mengajarkan cara memverifikasi informasi, menumbuhkan kesadaran kritis masyarakat, hingga melawan manipulasi media seperti yang diperingatkan oleh Noam Chomsky.
Dengan begitu, pergerakan mahasiswa tidak hanya kritis terhadap kebijakan pemerintah saja, namun juga aktif dalam membangun kesadaran masyarakat agar melek dalam teknologi, melek dalam informasi, dan melek dalam memandang kondisi sosial.
Teknologi sebagai Senjata Perubahan
Ternyata, teknologi memiliki dampak positif bagi dunia pergerakan mahasiswa. Mulai dari mempercepat penyebaran informasi konsolidasi, hingga membantu dalam membangun kesadaran kritis masyarakat melalui ruang-ruang digital.
Namun, tantangan dan permasalahan tetaplah menyertai. Seperti kritik yang disampaikan oleh Noam Chomsky, bahwa teknologi bukan ruang yang netral. Teknologi menjadi instrumen kekuasaan untuk membentuk opini publik agar sesuai dengan kepentingan tertentu. Justru karena ini, mahasiswa harus sadar dan hadir guna menjadi penyaring, penyeimbang, sekaligus penggerak narasi-narasi alternatif.
Pergerakan mahasiswa tidak boleh menjadi objek dalam derasnya arus teknologi. Mahasiswa harus menjadi subjek yang mengarahkan teknologi guna mencapai tujuan-tujuan besar: memperjuangkan keadilan, menjaga demokrasi, dan membela kepentingan rakyat.
Perlu untuk diingat dan dicatat, hadirnya teknologi bukan sebagai pengganti dari pergerakan mahasiswa. Teknologi hanyalah alat yang dapat memperkuat dan memperdalam daya jangkau gerakan. Satu hal yang terpenting ialah bagaimana mahasiswa dapat menggunakan teknologi dengan bijak dan arif. Sebab, di tangan mahasiswa, teknologi dapat menjelma menjadi senjata ampuh guna menciptakan sebuah perubahan sosial.