Minta Tambah Anggaran tapi Kok Kinerja Asal-Asalan

Oleh Sabdo Utomo Gumilang (PMII Rayon M Zamroni, Komisariat Al-Ghozali Semarang) pada Senin, 11 Agustus 2025 - 19.10 WIB



Sumber gambar: https://share.google/images/zliZcKWHwnqc4qzS4



Hari Senin, tanggal 7 Juli 2025, Polri mengusulkan tambahan anggaran sebesar Rp 63,7 Triliun untuk tahun 2026 saat Rapat Kerja Bersama dengan Komisi III DPR RI. Polri sendiri sebelumnya mengajukan kebutuhan anggaran sebesar Rp 173,4 Triliun. Namun, pagu indikatif yang ditetapkan pemerintah untuk Polri sebesar Rp 109,6 Triliun, sehingga ada selisih kekurangan anggaran sebesar Rp 63,7 Triliun tersebut. Melansir dari Tempo.com, usulan anggaran sebesar Rp 173,4 Triliun ini mengalami kenaikan sebesar Rp 46,8 Triliun atau meningkat sekitar 37 persen, dibandingkan dengan alokasi anggaran tahun 2025 sebesar Rp 126,6 Triliun.

Sumber gambar: https://www.tempo.co/hukum/rincian-alokasi-anggaran-polri-rp-173-4-triliun-untuk-tahun-2026-1975711


Kenaikan Anggaran ini membuat masyarakat "geleng-geleng kepala", karena Polri meminta tambahan anggaran di tengah banyaknya kritik terhadap buruknya kinerja institusi Polri. Publik menilai, seharusnya pihak Polri melakukan evaluasi institusi terlebih dahulu terhadap kinerjanya yang selama ini banyak menimbulkan kekecewaan dan kemarahan dari masyarakat, sebelum meminta tambahan anggaran. Terlebih lagi, adanya efisiensi anggaran yang sedang dijalankan oleh Presiden Prabowo telah menimbulkan efek domino di berbagai sektor, serta sangat berpengaruh dalam kehidupan masyarakat.

Kinerja yang Buruk

Permintaan dari pihak Polri terkait penambahan alokasi anggaran untuk tahun 2026, menimbulkan polemik di masyarakat. Hal ini tidak terlepas dari rentetan kinerja buruk Polri yang menuai banyak kritikan dari masyarakat. Mulai dari sektor pelayanan publik, baik itu secara administratif ataupun praktik di lapangan. Mengenai hal administratif misalnya, banyak sekali kasus "Pungli" (Pungutan Liar) yang dialami masyarakat. Pungli ini digunakan sebagai uang pelicin dalam mekanisme pelayanan administrasi publik, seperti pembuatan SIM, pembuatan laporan pencurian barang, dan lain sebagainya. Hal ini menjadi suatu ironi, karena akan berujung pada sebuah banalitas, bahkan hingga tercipta sebuah narasi “sudah menjadi sebuah rahasia umum” yang seolah-olah menggambarkan bagaimana masyarakat dituntut untuk terbiasa dengan tindakan "Pungli" yang sering dilakukan oleh aparat kepolisian. Kinerja buruk diranah administratif seperti ini, mencerminkan sistem kerja birokrasi dalam tubuh Polri masih banyak terjadi praktik korupsi yang menggerogoti tubuh instansi Polri.

Tidak hanya dalam ranah “meja kantor”, kinerja Polri di lapangan tidak kalah buruknya. Aparat kepolisian, selaku institusi penegak hukum, justru ikut menjadi salah satu aktor dari pelanggaran hukum itu sendiri. Hal ini menyebabkan masyarakat seperti sudah terbiasa, sambil “mengelus dada dan menghela nafas”, kala melihat perangai aparat kepolisian yang dinilai “di luar batas”. Mulai dari represivitas aparat terhadap para demonstran selalu berujung pada kekerasan, hingga terlibat pada sejumlah jaringan "backing" dengan bandar judi ataupun narkoba. Realitas yang sangat menyedihkan ini, mempertegas bahwa terdapat persoalan yang sangat serius dalam tubuh Polri. Bukan hanya sekadar ulah “segelintir individu", melainkan telah menjadi persoalan yang sangat sistematis dan terstruktur. Kinerja yang sangat buruk ini sangat berpengaruh pada tingkat kepercayaan publik. Melansir dari survey yang dirilis oleh Indikator, Polri menempati peringkat tiga terbawah bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), serta Partai Politik.



Sumber gambar: https://indikator.co.id/wp-content/uploads/2025/05/RILIS-INDIKATOR-27-MEI-2025-1.pdf


Kepercayaan yang rendah ini merupakan buntut dari buruknya kinerja Polri yang berasal dari anggota-anggotanya sendiri, seperti sebuah narasi yang beredar di masyarakat “kalaupun oknum, kok satu kantor”. Narasi ini menunjukkan bahwa setiap elemen yang ada di masyarakat sendiri memiliki pengalaman yang tidak mengenakan ketika berinteraksi dengan aparat kepolisian. Hal ini memberikan sinyal bahwa ada suatu problem dalam sistem kerja kepolisian. Selain itu, hal ini pun merupakan sebuah tanda bahwa diperlukan sebuah reformasi dalam tubuh Polri.

Reformasi Hanya Basa-Basi

Melihat banyaknya kritikan terhadap kinerja hingga perilaku dari aparat kepolisian itu sendiri, membuat Pemerintah Indonesia mewacanakan adanya reformasi di tubuh Polri. Namun, wacana hanya sebatas wacana. Reformasi yang sering digaungkan dan dilontarkan oleh para pejabat Polri, tampak hanya menjadi “omon-omon” saja, dan tidak pernah menyentuh persoalan akar rumput. Wacana reformasi di tubuh Polri tampak lebih menyerupai retorika normatif yang tidak memiliki tindak lanjut yang konkret. Jika dilihat secara lebih mendalam, pengejawantahan reformasi hanya berfokus pada pembenahan citra dan modernisasi peralatan, tanpa menyentuh aspek etika profesi, pembinaan sumber daya manusia, serta integritas kelembagaan. Kritikan yang selalu dilontarkan masyarakat, menunjukkan bahwa rendahnya kepercayaan publik terhadap institusi Polri bersumber dari praktik-praktik penyalahgunaan wewenang, lemahnya respons terhadap pelaporan masyarakat, serta adanya dugaan keterlibatan aparat dalam kegiatan ilegal yang mencederai fungsi dan peran Polri sebagai pelindung dan pengayom masyarakat.

Masyarakat juga sudah bosan, dan sudah mengerti bahwa alih-alih melakukan reformasi, Polri justru berkutat pada perbaikan citra melalui branding media, bukan fokus pada perbaikan kualitas anggota yang nantinya akan memperbaiki citra kepolisian di kemudian hari. Dengan hanya berkutat pada perbaikan citra yang dinilai justru membuang-buang waktu dan hanya menghabiskan anggaran, Polri dinilai publik terkesan menutup diri, tidak paham dengan apa yang disampaikan dan menjadi tuntutan masyarakat, serta cenderung mempertahankan sistem kerja yang sudah usang dan rusak. Bukannya memperlihatkan institusi yang progresif dan terbuka terhadap kritik, Polri justru mempertontonkan resistensi terhadap perubahan. Reformasi seharusnya tidak hanya dimaknai sebagai upaya membenahi citra dan membangun narasi positif di ruang publik. Reformasi yang sejati menuntut perubahan struktural yang menyentuh aspek kelembagaan, mulai dari sistem rekrutmen yang berorientasi pada meritokrasi, pembinaan karier yang transparan, hingga pengawasan internal yang independen. Dalam konteks negara demokratis, institusi kepolisian seharusnya menjadi representasi keadilan dan profesionalisme, bukan malah menjadi alat kekuasaan yang kerap digunakan untuk membungkam kritik dan memperkuat oligarki hukum.

Reformasi seharusnya mencakup perubahan paradigma dari institusi yang represif dan tertutup, menjadi institusi yang humanis, akuntabel, dan transparan. Ketika aparat kepolisian masih berlindung di balik tameng kekuasaan dan impunitas, sulit membayangkan adanya ruang yang sehat bagi demokrasi untuk tumbuh. Reformasi tidak akan berarti apa-apa jika aparat yang melakukan pelanggaran justru dilindungi oleh institusi. Sementara, pelapor atau korban justru mengalami reviktimisasi. Ketimpangan dalam perlakuan hukum antara rakyat biasa dan aparat penegak hukum, menciptakan ketidakadilan struktural yang hanya memperkuat sinisme masyarakat terhadap institusi Polri. Karena itu, tanpa political will yang kuat dari pemerintah dan keberanian internal di tubuh Polri untuk melakukan reformasi menyeluruh, upaya-upaya perbaikan hanya akan menjadi kosmetik belaka. Institusi ini harus menjawab harapan publik dengan langkah nyata, bukan sekadar janji kosong atau pencitraan semu. Reformasi sejati menuntut keberanian untuk membuka ruang partisipasi publik, membongkar pola lama yang feodal dan hierarkis, serta meletakkan dasar kelembagaan yang berpihak pada keadilan. Jika tidak dilakukan, Polri akan terus berjalan di tempat, dan reformasi yang sejatinya menjadi kebutuhan mendesak, hanya akan dikenang sebagai retorika indah tanpa makna.

Evaluasi dan Refleksi

Polri merupakan institusi penegak hukum yang memiliki tupoksi yang sangat dekat dengan masyarakat. Selain itu, biaya operasional dan gaji anggotanya pun dibayar melalui pajak rakyat. Polri juga mendapatkan banyak kritikan pedas dari masyarakat. Kritikan yang masuk hendaknya dijadikan bahan refleksi dan evaluasi untuk kebaikan Polri kedepannya, bukan malah mengambil tindakan yang mengintimidasi atau bahkan mengkriminalisasi suatu kritikan. Sebagai contoh, kasus Band Sukatani yang mendapatkan persekusi akibat lagunya yang berjudul “Bayar Bayar Bayar”, hingga adanya edaran Surat Telegram Kapolri bernomor ST/750/IV/HUM/3.4.5/2021 tertanggal 5 April 2021 kepada awak media yang berisi perintah kepada awak media agar tidak menyiarkan upaya atau tindakan arogansi dan kekerasan yang dilakukan oleh kepolisian, walaupun akhirnya surat itu dicabut.

Tindakan-tindakan persekusi dan intimidasi yang dilakukan oleh aparat kepolisian kepada mereka yang mengkritik, justru menimbulkan pertanyaan publik, “ini beneran mau reformasi atau cuman omon-omon doang?”. Tidak hanya sampai situ saja, kinerja yang buruk dan perlakuan yang sedemikian rupa terhadap publik yang mengkritik, membuat masyarakat menjadi jengah dengan pihak Polri. Pemintaan penambahan anggaran di tengah kebijakan efisiensi anggaran yang mencekik masyarakat, membuat masyarakat bertannya-tanya, “sudah ngaca sama kinerjanya?”.

Kritikan dari masyarakat, bukan hanya menjadi bahan evaluasi dan refleksi bagi pihak Polri. Namun, juga menjadi sebuah harapan masyarakat agar Polri dapat tumbuh menjadi lebih baik. Harapan tersebut seharusnya ditanggapi dengan sikap terbuka dan responsif, bukan dengan resistensi dan tindakan represif. Di balik kritik yang tajam, tersimpan keinginan publik agar Polri benar-benar menjadi institusi yang profesional, transparan, dan humanis. Ketika publik bersuara, itu menandakan masih adanya kepedulian dan ekspektasi terhadap perubahan yang lebih baik. Jika suara-suara tersebut dibungkam, maka yang tersisa bukanlah ketertiban, melainkan ketakutan yang membusuk dalam diam. Sudah seyogyanya, Polri menjadikan suara kritis sebagai cermin untuk perbaikan diri, bukan malah sebagai ancaman yang harus ditumpas.


----------------


Referensi


Tempo.co. (2025). Rincian Alokasi Anggaran Polri Rp 173,4 Triliun untuk Tahun 2026. Diakses pada tanggal 22 Juli 2025. https://www.tempo.co/hukum/rincian-alokasi-anggaran-polri-rp-173-4-triliun-untuk-tahun-2026-1975711

Indikator Politik Indonesia. (2025). Rilis Hasil Survei Tingkat Kepercayaan Publik terhadap Lembaga Negara. Diakses pada tanggal 22 Juli 2025. https://indikator.co.id/wp-content/uploads/2025/05/RILIS-INDIKATOR-27-MEI-2025-1.pdf

Kompas.com. (2021). Kapolri Terbitkan Telegram Larang Media Memberitakan Kekerasan Polisi. Diakses pada tanggal 22 Juli 2025. https://www.kompas.com/tren/read/2021/04/06/070000765/kapolri-terbitkan-telegram-larang-media-memberitakan-kekerasan-polisi

Asfinawati. (2021). Reformasi Polri: Tantangan, Hambatan, dan Harapan. Jurnal Hukum & Sosial, 12(3), 211-225. 

Benarnews.org. (2024). Studi: Reformasi kepolisian Indonesia terhenti, “budaya kekerasan” berlanjut. Diakses pada tanggal 23 Juli 2025. https://www.benarnews.org/indonesian/berita/reformasi-kepolisian-stagnan-10092024155036.html

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS). (2018). Kertas posisi reformasi polisi menuju kepolisian yang demokratis. Diakses pada tanggal 23 Juli 2025. https://www.kontras.org/home/WPKONTRAS/wp-content/uploads/2018/09/Kertas-Posisi-Reformasi-Polisi-menuju-Kepolisian-yang-Demokratis.pdf

Indonesia Corruption Watch. (2021). Reformasi polisi Indonesia: Tantangan dan harapan. Diakses pada tanggal 23 Juli 2025. https://antikorupsi.org/index.php/id/article/reformasi-polisi-indonesia

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama